Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Perhimpunan Pelajar Indonesia
PPI

Perhimpunan Pelajar Indonesia (www.ppidunia.org)

Penggunaan Medsos, Peluru Propaganda atau Industri Kreatif?

Kompas.com - 06/01/2018, 08:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

SATU persamaan yang dipunyai oleh generasi milenial (lahir 1980-2000) dan generasi Z (lahir 2000-2014), adalah sifat digital native.

Frasa digital native dipopulerkan oleh MacPrensky, seorang penulis dan motivator pendidikan asal Amerika Serikat. Digital native merupakan kelompok yang saat mulai belajar menulis sudah mengenal internet.

Bisa dikatakan, baik milenial atau generasi Z, terpapar internet di usia yang muda hingga sangat muda. Pergerakan media sosial sendiri dimulai pada saat generasi milenial tumbuh remaja.

Paul Martin dan Thomas Erickson dalam Social Media Usage and Impact menuliskan pergerakan sosial media pada digital native mulai dari Friendster (2002), Couchsurfing dan Myspace (2003), Youtube dan Yahoo (2005), Facebook dan Twitter (2006).

Jumlah media sosial tersebut terus meningkat dan bervariasi jenisnya. Konsekuensinya, generasi Milenial dan Z mempunyai interaksi yang sangat intens dengan media sosial.

Terlepas dari cara, fungsi, dan efek dari penggunaan media sosial, para generasi Z dan milenial lah yang menjadi saksi dari perjalanan perkembangan media sosial yang sangat dinamis beberapa tahun terakhir.

Sayangnya yang terjadi, tidak semua bagian dari generasi milenial dan Z yang menganggap dirinya sebagai generasi diatas rata-rata (above average) tersebut bisa memfilter siapa dan apa saja konten yang layak untuk dibagikan.

Media sosial dan peluru propaganda

Pakar komunikasi dari Yale University Amerika Serikat, Harold D Lasswell dalam Propaganda Technique in the World War memperkenalkan magic bullet theory atau teori peluru.

Teori ini mengasumsikan media (sebagai pistol) yang menembakkan informasi pada pikiran masyarakat, dan masyarakat yang menjadi komunikan (penerima pesan) menerima pesan tersebut tanpa ada keraguan.

Magic bullet theory tidak akan hanya menjadi sekadar teori bila masyarakat menerima dan menelan mentah-mentah pesan yang merupakan asumsi, atau tidak berdasar pada riset ilmiah.

Nah, pesan dalam konteks ini adalah konten yang kita konsumsi dalam media sosial. Sebagai salah satu bentuk dari media baru, kita tidak bisa menepis pengaruh media sosial yang dewasa ini menjadi alat propaganda kepentingan kelompok.

Lasswell berpendapat bahwa faktor depresi ekonomi dan konflik politik yang menyebabkan kebanyakan orang rentan terhadap bentuk propaganda yang kasar sekalipun.

Serangan propaganda bertubi-tubi mengakibatkan masyarakat mudah beralih dari memikirkan beban hidup menuju propaganda tersebut.

Ilustrasi.THINKSTOCK Ilustrasi.

 

Dalam konteks media sosial juga, propaganda bisa dilebur dalam hate speech atau ujaran kebencian yang seringkali dipahami secara tekstual oleh konsumen media sosial. Akibatnya, penyebaran informasi menjadi chaos.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com