JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal (purn) Agus Supriatna memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (3/1/2017). Agus hendak diperiksa terkait kasus dugaan korupsi dalam pengadaan helikopter AgustaWestland (AW) 101.
Agus tiba di KPK Kamis sekitar pukul 09.30 WIB dengan pengawalan sejumlah personel TNI Angkatan Udara. Ia enggan memberikan keterangan awal seputar pemeriksaannya hari ini oleh KPK.
Pria dengan setelan jaket hitam, baju biru itu sempat duduk di lobi KPK. Personel TNI sempat terlihat ada yang mengantar Agus ke lobi KPK. Sementara itu, di luar lobi atau halaman depan gedung KPK berdiri sejumlah personel TNI AU yang mengantar Agus.
Namun, setelah beberapa saat, para personel itu kemudian meninggalkan halaman depan KPK. Mereka terlihat berkumpul menunggu di jalan depan gedung KPK.
Baca juga: Kasus Heli AW 101, KPK Tunggu Angka Pasti Kerugian Negara dari TNI AU
Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi mengatakan, Agus akan diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi untuk Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh, salah satu tersangka dari pihak swasta yang kasusnya ditangani KPK.
"Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka IKS," kata Febri, saat dikonfirmasi.
Dalam kasus ini, TNI menetapkan lima orang tersangka dari jajarannya. Mereka adalah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas atau pekas Letkol admisitrasi WW.
Selain itu, staf yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu yakni Pelda (Pembantu letnan dua) SS, dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Sementara, KPK menetapkan satu tersangka, yakni Irfan, sebagai pihak swasta. Diketahui, pembelian helikopter ini bermasalah karena adanya dugaan penggelembungan dana dalam pembelian helikopter tersebut.
Baca juga: Panglima TNI: Penyidikan Internal Kasus Heli AW 101 Tetap Berjalan
Awalnya, pengadaan dikhususkan pada heli jenis VVIP untuk keperluan presiden. Anggaran untuk heli tersebut senilai Rp 738 miliar. Namun, meski ditolak oleh Presiden Joko Widodo, pembelian heli tetap dilakukan. Jenis heli diubah menjadi heli untuk keperluan angkutan.
Selain itu, heli yang dibeli tersebut tidak cocok dengan spesifikasi yang dibutuhkan TNI Angkatan Udara. Misalnya, heli tidak menggunakan sistem rampdoor.
Hasil perhitungan sementara ditemukan kerugian negara sekitar Rp 224 miliar dari nilai proyek Rp 738 miliar tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.