JAKARTA, KOMPAS.com - Di tahun 2018 ini, sebanyak 171 daerah akan melangsungkan pemilihan kepala daerah serentak.
Ini adalah pilkada serentak ketiga yang terjadi di Indonesia setelah 2015 dan 2017.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini memperkirakan, pada pilkada serentak 2018, munculnya fenomena calon tunggal akan semakin meningkat dibandingkan periode sebelumnya.
"Kalau dilihat trennya di 2015, dari 269 ada tiga calon tunggal, dan di 2017 dari 101 daerah ada sembilan calon tunggal. Sekarang 171 daerah. Maka peluang adanya kenaikan calon tunggal itu sangat mungkin," kata Titi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (2/1/2018).
(Baca juga : Jelang Pilkada Serentak, KPK-Polri Akan Bentuk Satgas Money Politic)
Titi mengatakan, fenomena munculnya calon tunggal dari 2015 ke 2017 meningkat dari tiga paslon menjadi sembilan paslon.
Padahal pada saat itu jumlah daerah yang menggelar pilkada turun dari 269 daerah menjadi 101 daerah.
"Apalagi (untuk 2018 ini) di beberapa daerah konstelasi dukungan nampaknya sangat sulit terbentuk," ujar Titi.
Anomali calon tunggal
Lebih lanjut dia mengatakan, munculnya fenomena calon tunggal di Indonesia merupakan anomali.
Di negara-negara demokrasi maju seperti di Inggris, calon tunggal muncul di daerah-daerah dengan jumlah pemilih sedikit, atau dapil kecil.
Sehingga, munculnya calon tunggal di daerah dengan skala pemilihan kecil ini tidak mempengaruhi eksistensi dari partai politik.
(Baca juga : Prediksi Kapolri soal Gangguan Keamanan Saat Pilkada Serentak 2018 )
Namun yang terjadi di Indonesia, calon tunggal justru banyak muncul di dapil-dapil gemuk dengan jumlah pemilih besar dan di daerah yang kekuatan parpolnya terdistribusi cukup baik.
Hal ini menjadi anomali, sebab menurut Titi seharusnya parpol bisa menyajikan kader terbaiknya untuk maju di pilkada.
Dalam pilkada, parpol diharapkan tidak sekadar berorientasi oportunistik dan transaksional.
"Anomali mestinya tidak terjadi di 2018. Parpol mestinya mengedepankan demokratisasi dan keberadaan partai sebagai instrumen demokrasi di dalam mengusung calon di partainya," kata Titi.