JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua DPR, Setya Novanto, melalui perjalanan panjang pada tahun 2017 hingga akhirnya disidang sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
Nama Novanto semakin kuat dikaitkan dalam kasus e-KTP setelah muncul pada sidang perdana kasus itu.
Saat itu, mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman menjadi terdakwa.
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa KPK di Pengadilan Tipikor, Kamis (9/3/2017), Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun.
Baca juga: Jalan Panjang KPK Membawa Setya Novanto ke Kursi Pesakitan
Akhirnya, Novanto menjalani sidang perdananya sebagai terdakwa dalam kasus korupsi e-KTP pada 13 Desember 2017.
Berikut perjalanan Novanto dalam kasus korupsi e-KTP yang menyeretnya ke meja hijau:
9 Maret 2017: Sidang Perdana Korupsi e-KTP
Pengadilan Tipikor membacakan dakwaan Irman dan Sugiharto yang menyebut keterlibatan Novanto dalam kasus korupsi e-KTP.
Saat itu, yang menemui Novanto adalah dua terdakwa yang juga pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto, Sekjen Kemendagri Diah Anggraini, dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Novanto menyatakan dukungan.
Pertemuan berikutnya dilakukan di ruang kerja Novanto di Lantai 12 Gedung DPR RI.
Baca juga: Dua Pejabat Kemendagri Didakwa Rugikan Negara Rp 2,3 Triliun Proyek E-KTP
Saat ditanya bentuk dukungan, Novanto menjawab akan mengoordinasikan dengan pimpinan fraksi yang lain.
Kemudian, sekitar Juli-Agustus 2010, proyek e-KTP dibahas dalam pembahasan Rancangan APBN tahun anggaran 2011.
"Karena anggota DPR RI tersebut dianggap sebagai representasi Partai Demokrat dan Partai Golkar yang dapat mendorong Komisi II DPR RI menyetujui anggaran proyek," demikian isi dakwaan KPK.
Hingga kemudian, Novanto bersama Andi, Anas, dan Nazaruddin, disebut menyepakati anggaran proyek e-KTP sesuai grand design 2010, yaitu RP 5,9 triliun.
Baca juga: Ini 10 Pengakuan Andi Narogong soal Korupsi E-KTP
Dari anggaran itu, rencananya 51 persen atau Rp 2,662 triliun akan digunakan untuk belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek e-KTP.
Sementara, 49 persen atau sebesar Rp 2,558 triliun, akan dibagi-bagi ke sejumlah pihak.
Novanto bersama Andi, Anas, dan Nazaruddin kemudian disebut mengatur pembagian anggaran dari 49 persen yang rencananya akan dibagi-bagi.
Pembagiannya adalah 7 persen (Rp 365,4 miliar) untuk pejabat Kementan, 5 persen (Rp 261 miliar) untuk anggota Komisi II DPR, dan 15 persen (Rp 783 miliar) untuk rekanan/pelaksana pekerjaan.
Sedangkan 11 persen (Rp 574,2 miliar) direncanakan untuk Setya Novanto dan Andi Narogong, dan 11 persen (Rp 574,2 miliar) lainnya untuk Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin.
6 April 2017: Bantahan Setya Novanto dalam Sidang Irman dan Sugiharto
Novanto membantah keterlibatan dirinya dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP. Novanto mengaku tak mengetahui apa pun terkait pembagian uang kepada sejumlah anggota DPR.
"Saya tidak tahu, saya tidak pernah tahu," kata Novanto kepada majelis hakim.
Baca juga: 6 Bantahan Setya Novanto Saat Namanya Terseret Kasus E-KTP
Novanto juga membantah menerima sejumlah uang dari proyek itu. Dalam dakwaan, Novanto disebut menerima Rp 574,2 miliar.
"Itu tidak benar, saya yakin Yang Mulia," kata Novanto.
17 Juli 2017: Setya Novanto Ditetapkan Tersangka oleh KPK
KPK umumkan penetapan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan E-KTP. Pengadaan proyek itu terjadi pada kurun waktu 2011-2012, saat Setya Novanto menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR.
Ia diduga ikut mengatur agar anggaran proyek E-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui anggota DPR.
Baca juga: KPK Tetapkan Setya Novanto Tersangka Kasus E-KTP
Selain itu, Novanto diduga telah mengondisikan pemenang lelang dalam proyek E-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
Setelah sebulan lebih berstatus tersangka, Novanto resmi mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan terdaftar dalam nomor 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel. Novanto meminta penetapan statusnya sebagai tersangka dibatalkan KPK.
11 September 2017: Dipanggil KPK sebagai tersangka, namun tak hadir
KPK memanggil Novanto untuk diperiksa sebagai tersangka. Namun, Novanto tak hadir dengan alasan sakit. Sekjen Golkar Idrus Marham bersama tim kuasa hukum Novanto mengantarkan surat dari dokter ke KPK.
Menurut Idrus, Novanto saat itu masih menjalani perawatan di RS Siloam, Semanggi, Jakarta. Hasil pemeriksaan medis, gula darah Novanto naik setelah melakukan olah raga pada Minggu (10/9/2017).
12 September 2017: Kirim Surat minta penundaan proses hukum
Setya Novanto mengirimkan surat ke KPK melalui Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Novanto meminta KPK menunda proses penyidikan terhadap dirinya sampai putusan praperadilan keluar.
Surat itu sempat menuai protes karena dikirim menggunakan kop DPR. Namun, KPK menilai proses praperadilan adalah hal yang terpisah dari proses penyidikan.
Oleh karena itu, KPK tetap akan menjadwalkan pemeriksaan Setya Novanto sebagai tersangka.
29 September 2017: Novanto bebas dari status tersangka
Setelah menjalani serangkaian sidang, Hakim tunggal Cepi Iskandar mengabulkan sebagian permohonan Novanto.
Penetapan Novanto sebagai tersangka oleh KPK dianggap tidak sah alias batal. Hakim juga meminta KPK untuk menghentikan penyidikan terhadap Novanto.
Hakim juga mempermasalahkan alat bukti yang digunakan KPK untuk menjerat Novanto. Sebab, alat bukti itu sudah digunakan dalam penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto, dua pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis di pengadilan
31 Oktober 2017: Novanto kembali ditetapkan tersangka oleh KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto sebagai tersangka untuk kedua kalinya dalam perkara korupsi e-KTP.
Penetapan Novanto sebagai tersangka ini dilakukan sejak 31 Oktober 2017.
"Setelah proses penyelidikan dan terdapat bukti permulaan yang cukup dan melakukan gelar perkara akhir Oktober 2017, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN, anggota DPR RI," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers di gedung KPK, Jumat (10/11/2017).
KPK sebelumnya telah memantau hasil praperadilan yang memenangkan Setya Novanto di PN Jakarta Selatan, sehingga status tersangka yang ditetapkan KPK dibatalkan.
KPK kembali melakukan pemeriksaan saksi setelah putusan itu.
15 November 2017: KPK lakukan jemput paksa
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambangi rumah Ketua DPR Setya Novanto, malam ini, Rabu (15/11/2017). Mereka tiba di kediaman Novanto pukul 21.40 WIB.
Tampak petugas polisi berjaga-jaga di depan pintu masuk rumah Novanto di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Petugas KPK diketahui dilarang masuk ke dalam sehingga hingga berita ini diturunkan, mereka masih berada di lingkungan sekitar rumah Novanto.
Seharusnya, pada Rabu (15/11/2017), Novanto diperiksa di KPK, namun ia tidak datang. Dia memilih berada di Gedung DPR untuk mengikuti rapat paripurna.
16 November 2017: Novanto kecelakaan
Ketua DPR RI Setya Novanto dikabarkan mengalami kecelakaan mobil, Kamis (16/11/2017). Ia kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Jakarta Selatan.
Pengacara Novanto, Fredrich Yunadi, menuturkan, kecelakaan terjadi tak jauh dari rumah sakit tersebut.
Setelah melangsungkan siaran langsung, Novanto berencana mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memberikan keterangan.
Kejadian berlangsung sekitar pukul 19.00 WIB. Fredrich dihubungi oleh ajudan dan dikabari bahwa Novanto mengalami kecelakaan.
"Tapi di perjalanan ajudan ngasih tahu 'Pak kita kecelakaan mobil kaca depan mobil hancur copot' beliau luka langsung pingsan," kata Fredrich di RS Medika Permata Hijau, Kamis malam.
Novanto kemudian dilarikan ke Unit Gawat Darurat. Fredrich mengaku belum mengetahui siapa saja yang berada dalam mobil tersebut.
17 November 2017: Setya Novanto ditahan KPK dan dibantarkan di RSCM
Komisi Pemberantasan Korupsi resmi mengeluarkan surat penahanan terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto.
Novanto ditahan selama 20 hari ke depan terhitung mulai Jumat (17/11/2017) hingga 6 Desember 2017, di Rutan Negara Klas I Jakarta Timur Cabang KPK.
13 Desember 2017: Jalani sidang perdana sebagai terdakwa
Setya Novanto cuma diam dan menunduk sejak pertama kali duduk di kursi terdakwa. Pertanyaan apapun yang dilontarkan ketua majelis hakim, Novanto tidak menanggapinya.
Novanto yang mengenakan kemeja putih itu memang bersikap selayaknya orang yang sedang dalam kondisi tidak sehat. Novanto seolah-olah tidak dapat menggunakan indera pendengarannya.
Ia juga menunjukkan sikap seperti tak mampu berbicara. Ketua majelis hakim sampai berulang kali mengajukan pertanyaan kepada Novanto.
Irene Putri, jaksa KPK, mengatakan, Novanto sudah diperiksa dokter serta dinyatakan sehat dan dapat menjalani persidangan.
Dari laporan pengawal tahanan, Novanto hanya dua kali ke toilet, yakni pukul 23.00 dan pukul 02.30. Novanto juga kedapatan sedang tertidur nyenyak pada malam hari.
Jaksa KPK menilai, Setya Novanto berbohong dengan berpura-pura sakit. Sebab, dokter sudah menyatakan Novanto dalam kondisi yang sehat dan layak mengikuti persidangan.
Jaksa KPK menghadirkan empat dokter di dalam persidangan. Tiga dokter merupakan ahli yang berasal dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan satu dokter lainnya merupakan dokter pegawai KPK.
Tim dokter yang dihadirkan KPK diminta memeriksa kondisi kesehatan Novanto. Hasilnya, semua dokter menyatakan, Novanto dalam keadaan sehat. Menurut dokter, Novanto tidak mengalami gangguan apa pun.
Setya Novanto menolak diperiksa dokter yang dihadirkan pengacaranya sendiri. Dokter yang berasal dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) itu ditolak Novanto karena bukan dokter spesialis, melainkan dokter umum.
Setelah berjam-jam tidak mendapat respons dari Novanto, majelis hakim meminta waktu untuk bermusyawarah. Hakim akhirnya memutuskan bahwa surat dakwaan harus dibacakan dan persidangan dilanjutkan. Dengan demikian praperadilan yang diajukan Novanto batal.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.