JAKARTA, KOMPAS.com - Potensi merebaknya kampanye bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjadi tantangan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, meluasnya kampanye bermuatan SARA ini juga akan merambah media sosial.
Oleh karena itu, Titi berharap ada kolaborasi antara penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum RI (KPU RI) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum RI (Bawaslu RI), dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
"Menyangkut SARA ini, keberadaan Kominfo mestinya menjadi mitra KPU dan Bawaslu dalam membangun kesadaran literasi digital warga," kata Titi kepada Kompas.com, Selasa (26/12/2017).
(Baca juga: Perludem: Bawaslu Tak Bisa Sendiri Mengawasi Politisasi Isu SARA)
Titi menambahkan, Kominfo tentu saja memiliki instrumen untuk mengawasi konten yang ada di media sosial.
Di samping itu, guna mengantisipasi berita bohong (hoaks) dan fitnah yang bernuansa SARA, menurut Titi perlu disediakan saluran pengaduan warga. Menurut Titi, sampai hari ini kanal pelaporan bagi warga belum tersedia baik.
Apalagi, sambungnya, perihal keamanan dan perlindungan bagi si pelapor. Oleh karena itu, masih banyak hoaks berseliweran di media sosial.
"Menurut saya kenapa banyak hoaks atau fake news menyebar, karena terjadi pembiaran dari warga, atau sifat dan sikap permisif," ujar Titi.
"Jikapun ada yang mau ambil tindakan, belum ada kepastian atas rasa aman jika mereka melaporkan masalah tersebut," kata dia.