JAKARTA, KOMPAS.com - Menguatnya politik identitas dan penggunaan isu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) diperkirakan akan mewarnai Pilkada Serentak 2018.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Badan Pengawas Pemilihan Umum RI (Bawaslu RI) tidak bisa sendirian dalam menjalankan fungsi supervisi untuk mengatasi hal itu.
"Ekstensifikasi penggunaan politik SARA yang menyimpang dari koridor demokrasi membuat Bawaslu harus melakukan langkah-langkah antisipasi yang maksimal," kata Titi kepada Kompas.com, Selasa (26/12/2017).
"Tidak bisa sendirian, tetapi harus melibatkan semua pihak terkait," ujar dia.
(Baca juga: Mendagri Minta Bawaslu Tegas terhadap Politik Uang dan Isu SARA)
Bawaslu RI, menurut Titi, bisa melibatkan semua pihak dalam mengawasi politik SARA, mulai dari institusi negara, kelompok masyarakat sipil, maupun media massa.
"Misal Kominfo, Komisi Informasi Publik, Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Kemendagri, SKPD pada Pemda, platform media sosial dan media massa," kata Titi.
(Baca juga: Indeks Demokrasi Era Jokowi Menurun, Pemerintah Sebut akibat Isu SARA)
Media massa, menurut Titi, perlu dirangkul untuk memastikan warga mendapatkan informasi yang berimbang secara cepat, manakala berhadapan dengan berita bohong (hoaks) atau fitnah terkait pilkada dan pemilu.
Lebih lanjut Titi menjelaskan, kerja sama konkret antara Bawaslu RI dan Kominfo bisa berupa penyediaan mekanisme peringatan waspada (alert) atas hoaks yang tersebar.
"Kominfo pasti punya instrumennya. Jadi, membangun kerja sama taktis, menyusun langkah-langkah antisipatif dan responsif atas kampanye politik SARA yang menyasar pilkada dan pemilu," ucap Titi.