Dari manakah air berasal? Di manakah semua air di muka Bumi ini bermuara? Bukankah air juga mengalir dalam sebuah siklus?
Panas Matahari di atas samudera mengangkat air menjadi uap dalam bentuk awan yang kemudian bergerak ditiup angin ke daratan dan turun dalam bentuk hujan. Di daratan air mengalir di banyak tempat, terus bergerak mencari dataran yang lebih rendah.
Ke manakah air yang keluar dari tubuh kita? Keluar di kamar mandi, tak sedikit yang keluar di sudut-sudut kota berbau pesing lalu masuk selokan yang kotor dan bau. Air selokan kemudian menyatu dengan air kali dan mengalir kembali ke samudera.
Di samudera proses kondensasi yang sama kembali terulang. Air terangkat oleh panas Matahari, menguap, dan menggumpal menjadi awan untuk kembali turun ke daratan.
Sementara, dalam bentuk kehidupan yang lain, biji-biji buah-buahan jatuh di berbagai tempat dibawa burung-burung. Tunas muda tumbuh menembus tanah untuk kemudian berkembang menjadi pohon dan menghasilkan buah.
Hewan-hewan di udara lantas menyantap buahnya dan membuang biji-bji buah itu ke atas tanah untuk kemudian tumbuh menjadi tunas baru.
Kelahiran kita
Pertanyaannya kemudian: jika kita hidup di dalam sebuah sistem siklus, apakah Natal kita atau keberadaan kita saat ini di sini adalah sebuah bentuk kehidupan yang linear: lahir, mati, lalu selesai?
Jika ya, berarti keberadaan kita berjalan di luar sistem kehidupan yang menaungi dan menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan kita di semesta.
Atau, tidakkah kelahiran kita juga adalah sebuah siklus kehidupan? Artinya, kita kembali berkali-kali ke Bumi ini melewati banyak kehidupan.
Jika Anda berani bertanya, bisa jadi Anda akan menemukan jawaban-jawaban yang mungkin akan muncul secara tak terduga.
Guru akan datang ketika muridnya siap, kata orang bijak.
Lepas dari pertanyaan itu, siklus Natal yang datang setiap tahun bisa dimaknai sebagai momen untuk memperbarui kualitas kemanusiaan kita.
Natal menjadi proses tanpa akhir untuk membentuk diri menjadi pribadi seperti Yesus yang mencintai manusia tanpa batas-batas tembok.
Yesus diimani kekristenan sebagai Tuhan yang mencintai manusia semata-mata karena manusia berharga dalam kemanusiaannya secara utuh.
Martabat kemanusiaan itu tidak luntur sedikitpun karena latar belakang agama, suku, ras, maupun status sosial si manusia.
Bukankah begitu wajah cinta Tuhan?
Sang Pemilik Langit, kata Yesus, menurunkan hujan untuk orang jahat maupun orang baik dan menerbitkan Matahari yang sama untuk semua jenis manusia baik yang beribadah maupun tidak.
Selamat Natal kawans, semoga semua mahluk berbahagia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.