JAKARTA, KOMPAS.com - "Umur 12 tahun saya dijodohkan sama laki-laki yang umurnya 40 tahun," ujar Maryanti (30), warga Bengkulu, saat mengisahkan sepenggal kisah hidupnya sebagai korban perkawinan anak, Senin (18/12/2017).
Maryanti merupakan salah satu pemohon uji materi Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonannya, Maryanti meminta MK melakukan uji materi Pasal 7 Ayat (1) terutama pada frasa "batas minimal usia perkawinan perempuan adalah 16 tahun".
Batas minimal usia yang terlalu rendah dinilai menjadi penyebab perkawinan anak kerap terjadi.
(Baca juga: Ketentuan Batas Usia Nikah di UU Perkawinan Mendiskriminasi Kaum Perempuan)
Maryanti mengungkapkan, saat itu ayahnya Ia dipaksa menikah oleh ayahnya pada usia 14 tahun atas alasan ekonomi. Saat itu ayahnya terlilit hutang dan menyuruh Maryanti menikah dengan si pemberi utang yang usianya terlampau jauh dengan Maryanti.
Kondisi ekonomi keluarga yang buruk juga membuat Maryanti putus sekolah. Jenjang pendidikannya tak sampai kelas 6 SD.
Maryanti tak bisa berbuat banyak selain menuruti keinginan ayahnya itu. Dengan memalsukan umur agar sesuai undang-undang, Maryanti terpaksa menikah.
"Saya tidak mengerti kalau akan dijodohkan. Waktu itu saya menolak karena merasa belum pantas untuk menikah," ujar Maryanti.
(Baca juga: Menanti Keseriusan Pemerintah Hilangkan Perkawinan Anak)
Setelah menikah dan mengandung, Maryanti mengalami keguguran sebanyak tiga kali. Bidan kandungan yang ia temui menjelaskan bahwa kandungannya lemah, sebab umur Maryanti masih terlalu muda.
Ia baru berhasil melahirkan anak saat usianya mengingak 18 tahun.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.