Kasus serupa juga dialami oleh Rasminah (32) warga Indramayu, Jawa Barat. Ia dipaksa menikah oleh orangtuanya pada usia 13 tahun karena faktor ekonomi.
"Tadinya mau lanjut sekolah tapi enggak bisa, karena enggak ada biaya. Akhirnya dipaksa untuk menikah," ujar Rasminah.
Baca juga : Menanti Keseriusan Pemerintah Hilangkan Perkawinan Anak
Menurut Rasminah, banyak keluarga yang memaksa anak perempuannya menikah karena alasan himpitan ekonomi. Kemiskinan memaksa anak-anak perempuan dinikahkan dengan laki-laki yang dianggap bisa memberikan nafkah.
Kondisi itu membuat kedudukan perempuan menjadi tidak setara dengan laki-laki. Akibatnya seringkali seorang suami bertindak sewenang-wenang dan memandang kedudukan istri lebih rendah.
Dua tahun setelah menikah, sang suami pun meninggalkan Rasminah tanpa alasan yang jelas.
"Banyak yang seperti saya, tapi takut (untuk bicara) . Yang nikah muda kemudian cerai banyak. Yang ditinggal suaminya banyak, tapi mereka takut untuk melapor," kata Rasminah.
Kondisi yang dihadapi Maryati dan Rasminah, menurut Indry, merupakan contoh bagaimana ketentuan usia nikah di UU Perkawinan telah menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan.
Ia berharap MK mengabulkan permohonan uji materi UU Perkawinan agar ada instrumen hukum yang dapat menekan maraknya praktik perkawinan anak.
Setidaknya, lanjut Indry, dengam naiknya batas minimal usia menikah bagi perempuan, dapat mencegah praktik manipulasi umur seperti yang dialami oleh Maryati.
"Kalau batas usia sudah 19 tahun, kita bisa memperketat soal adanya praktik manipulasi. Penjatuhan sanksi akan lebih mudah. Selama masih 16 tahun, seperti sekarang akan lebih mudah untuk memanipulasi umur anak dan dipaksa menikah meski belum 16 tahun," ujar Indry.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.