JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Keputusan ini diambil dalam rapat pleno DPP Partai Golkar, Rabu (13/12/2017) malam, di Kantor DPP Golkar, Jakarta Barat.
Selanjutnya, Golkar akan menggelar Rapat Pimpinan Nasional dan Musyawarah Nasional Luar Biasa untuk mengukuhkan Airlangga sebagai ketua umum.
Terpilihnya Airlangga sebagai Ketua Umum Partai Golkar mengingatkan kembali pada janji Presiden Joko Widodo bahwa menterinya tak boleh rangkap jabatan di partai politik.
Baca: Jadi Ketum Golkar, Airlangga Diminta Mundur dari Jabatan Menteri
Janji ini disampaikan Jokowi pada masa kampanye Pemilihan Presiden 2014. Setelah terpilih, Jokowi menegaskan kembali komitmennya.
"Yang saya sampaikan dari awal ya begitu. Ya sudah," ujar Jokowi, di sela blusukan ke proyek sodetan Ciliwung-Kanal Banjir Timur, Jakarta, Agustus 2014.
Keputusan Jokowi saat itu ditentang oleh sejumlah elite partai politik pendukungnya.
Beberapa elite parpol yang tak setuju yakni Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan Ketua DPP PDI-P (saat itu) Puan Maharani.
"Satu jabatan saja belum tentu berhasil, apalagi dua," ujar Jokowi saat itu.
Lepas jabatan
Pada akhirnya, Jokowi memilih 14 menteri dari partai politik sebagai pembantunya. Sementara, 20 menteri lainnya berasal dari kalangan profesional.
Ada 4 menteri dari PDI-P, 4 menteri dari PKB, 3 dari NasDem, 2 dari Hanura, dan 1 dari PPP.
Baca: JK: Presiden Tidak Larang Rangkap Jabatan Parpol
Empat belas menteri itu disebut-sebut telah menanggalkan jabatan mereka di partai politik masing-masing.
Pada reshuffle kabinet jilid II, Juli 2016, Jokowi menunjuk Wiranto sebagai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Saat itu, Wiranto masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Hanura.
Tak lama setelah itu, Wiranto langsung melepas jabatannya di partai. Posisi Ketua Umum Hanura diambil alih oleh Oesman Sapta Odang.
Tanda tanya
Sejauh ini, sikap Airlangga belum jelas apakah akan secara sukarela mengundurkan diri dari kabinet setelah terpilih sebagai Ketua Umum Golkar. Sikap Jokowi terhadap Airlangga juga masih tanda tanya.
Ia tak mau berandai-andai dan menyerahkan sepenuhnya jabatan sebagai menteri kepada Presiden Jokowi.
"Tanya Presiden," kata Airlangga kepada wartawan, usai rapat pleno penetapannya sebagai ketua umum.
Baca: Luhut: Presiden Tak Suka Ketum Golkar Rangkap Jabatan
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan, Airlangga sudah meminta izin untuk maju sebagai Golkar 1. Namun, saat ditanya soal posisi Airlangga di Kabinet Kerja, Jokowi juga tidak menjawab dengan tegas.
"Yang mau ngerangkap itu siapa? Ngerangkap-ngerangkap," kata Jokowi di Lapangan Monas, Jakarta, Rabu (29/11/2017).
Etika
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia Ardian Sopa mengatakan, secara aturan memang tidak ada larangan menteri merangkap jabatan sebagai ketua umum partai politik.
Namun, secara etika, Airlangga harus mundur karena sejak awal Presiden Joko Widodo berkomitmen menterinya tidak rangkap jabatan.
"Memang secara etika politik dan statement Pak Jokowi, mau tidak mau dia harus mundur dari posisinya sebagai menteri," kata Ardian Sopa, di Jakarta, Kamis (14/12/2017).
Selain itu, dengan mengundurkan diri sebagai menteri, Airlangga juga bisa fokus mengurus Partai Golkar yang kini suaranya terus turun.
Hasil survei LSI medio 1-14 November, elektabilitas Golkar turun ke angka 11,6 persen dan sudah dilampaui oleh Partai Gerindra.
"Partai ini besar. Dan pekerjaan banyak, ancaman banyak, sehingga memang alangkah lebih baik ketika dia mundur fokus mengurus partai," ujar Ardian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.