JAKARTA, KOMPAS.com - Perusahaan tidak bisa menetapkan aturan yang melarang karyawannya untuk menikah dengan teman satu kantornya.
Jadi, kalian yang berencana menikah dengan teman yang berkerja di satu perusahaan bisa melangkah ke pelaminan.
Tak perlu risau lagi karena Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa aturan tersebut melanggar konstitusi.
Selama ini, pasangan yang bekerja sekantor terganjal aturan dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam Pasal 153 Ayat 1 huruf f diatur "Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama."
Praktiknya, frasa "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama" menjadi celah bagi perusahaan untuk melarang pegawainya menikah dengan kawan sekantornya.
Jika pun pegawai tersebut tetap ingin menikah, biasanya perusahaan mengharuskan salah satu orang mengundurkan diri dari perusahaan.
(Baca juga : MK Hapus Aturan yang Larang Pernikahan Antar-karyawan Sekantor)
Substansi Pasal 153 Ayat 1 huruf f kemudian digugat sejumlah orang ke MK.
Mereka menganggap, ketentuan tersebut sangat merugikan pekerja atau buruh disebabkan hilangnya jaminan kerja dan penghidupan yang layak.
Kasus ini pernah dialami oleh Yekti Kurniasih, mantan pegawai PLN Jambi.
Di sisi lain, pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Oleh sebab itu, pemohon meminta MK membatalkan frasa tersebut agar pihak perusahaan tidak bisa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan yang sama.
(Baca juga : MK: Perkawinan Antar-Karyawan Sekantor Tak Bisa Jadi Dasar PHK)
"Dengan dibatalkannya kata-kata 'kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama', maka hak konstitusi pekerja atau buruh terlindungi," ujar Jhoni dalam permohonannya.
Dikabulkan MK
Permohonan delapan pegawai PLN itu akhirnya dikabulkan oleh MK dalam sidang pleno di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2017).
MK menyatakan frasa "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama" dalam Pasal 153 Ayat 1 huruf f bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan adanya putusan MK tersebut, maka sebuah perusahaan tidak bisa menetapkan aturan yang melarang karyawannya untuk menikah dengan teman satu kantornya.
"Amar putusan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim MK Arief Hidayat.
Dalam pertimbangan putusannya, Hakim MK Aswanto menyatakan bahwa suatu perusahaan tidak bisa menjadikan ikatan perkawinan antara pekerja atau buruh dalam satu perusahaan tidak bisa dijadikan dasar PHK.
Mahkamah menilai bahwa aturan tersebut tidak sejalan dengan norma dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) UU 39/1999 dan Pasal 6 ayat (1) International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya).
"Pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang tidak dapat direncanakan maupun dielakkan. Oleh karena itu, menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas pekerjaan serta hak untuk membentuk keluarga, adalah tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara konstitusional," kata Aswanto.
Menurut Aswanto, ketentuan perusahaan yang melarang perkawinan dengan teman sekantor ditambah ancaman PHK membuat posisi pihak perusahaan dan pekerja atau buruh menjadi tidak seimbang.
Sebab, pekerja menjadi pihak yang berada dalam posisi yang lebih lemah karena sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan.
Dengan adanya posisi yang tidak seimbang tersebut, maka filosofi kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi tidak sepenuhnya terpenuhi.
"Berdasarkan pertimbangan demikian maka kata 'telah' yang terdapat dalam rumusan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan tidak dengan sendirinya berarti telah terpenuhinya filosofi prinsip kebebasan berkontrak," kata Aswanto.
Dalam pertimbangan, MK menyatakan pembatasan perkawinan sesama pegawai dalam satu perusahaan tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan seseorang.
Di sisi lain, MK menilai, tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya pertalian darah atau ikatan perkawinan.
Demikian pula tidak ada norma-norma moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis yang terganggu oleh adanya fakta bahwa pekerja atau buruh dalam satu perusahaan memiliki ikatan perkawinan.
"Sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 pembatasan terhadap hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis," tutur Aswanto.
Selain itu, MK juga berpendapat bahwa alasan yang digunakan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan PT. PLN untuk menerapkan aturan pembatasan pernikahan antarsesama tidak relevan.
Dalam keterangannya, APINDO dan PLN menyatakan pemberlakuan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertujuan untuk mencegah hal-hal negatif yang terjadi di lingkungan perusahaan dan membangun kondisi kerja yang baik, profesional, dan berkeadilan, serta mencegah potensi timbulnya konflik kepentingan dalam mengambil suatu keputusan dalam internal perusahaan.
Terhadap hal tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa alasan demikian tidak memenuhi syarat pembatasan konstitusional sebagaimana yang termuat dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Adapun kekhawatiran akan terjadinya hal-hal negatif di lingkungan perusahaan dan potensi timbulnya konflik kepentingan dalam mengambil suatu keputusan dalam internal perusahaan, hal tersebut dapat dicegah dengan merumuskan peraturan perusahaan yang ketat sehingga memungkinkan terbangunnya integritas pekerja sehingga terwujud kondisi kerja yang baik, profesional, dan berkeadilan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.