JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga pasal tersebut mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan.
Permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP dalam perkara nomor 46/PUU-XIV/2016 diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak.
Pemohon dalam gugatannya meminta pasal 284 tidak perlu memiliki unsur salah satu orang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.
Terkait pasal 285, pemohon meminta MK menyatakan bahwa pemerkosaan mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki.
Baca juga : MK Tolak Permohonan Uji Materi Pasal Kesusilaan di KUHP
Sementara pada pasal 292, pemohon meminta dihapuskannya frasa "belum dewasa", sehingga semua perbuatan seksual sesama jenis dapat dipidana. Selain itu, homoseksual haruslah dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih belum dewasa atau sudah dewasa.
MK menilai dalil para pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum. Dalam pertimbangannya MK menjelaskan, pada prinsipnya permohonan pemohon meminta Mahkamah memperluas ruang lingkup karena sudah tidak sesuai dengan masyarakat.
Hal itu berakibat pada perubahan hal prinsip atau pokok dalam hukum pidana dan konsep-konsep dasar yang berkenaan dengan suatu perbuatan pidana.
Artinya secara substansial, pemohon meminta MK merumuskan tindak pidana baru yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang.
Baca juga : Empat Hakim MK Beda Pendapat soal Putusan Uji Materi Pasal Kesusilaan di KUHP
Hakim MK Maria Farida mengatakan, Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan tindak pidana baru sebab kewenangan tersebut berada di tangan Presiden dan DPR. Menurut Maria, MK tidak boleh masuk ke dalam wilayah politik hukum pidana.
"Produk hukum pidana lahir dari kebijakan pidana atau politik hukum pidana pembentuk undang-undang. MK tidak boleh masuk wilayah politik hukum pidana," tutur Maria dalam sidang pleno di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2017).
Maria menjelaskan, ketika menyangkut norma hukum pidana, Mahkamah dituntut untuk tidak boleh memasuki wilayah kebijakan pidana atau politik hukum pidana (criminal policy).
Pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh MK, sebab hal itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang.
Baca juga : Pasal Kesusilaan dalam RUU KUHP
Berbeda dengan bidang hukum lainnya, hukum pidana dengan sanksinya yang keras dapat mencakup perampasan kemerdekaan seseorang, bahkan nyawa seseorang.
Pembatasan hak dan kebebasan, sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, adalah kewenangan eksklusif pembentuk undang-undang.
"Maka legitimasi negara untuk merumuskan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana serta jenis sanksi yang diancamkan terhadap perbuatan itu dikonstruksikan harus datang dari persetujuan rakyat, yang dalam hal ini mewujud pada organ negara pembentuk undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden yang keduanya dipilih langsung oleh rakyat, bukan melalui putusan hakim atau pengadilan," tutur Maria.
"Hal ini penting ditegaskan sebab sepanjang berkenaan dengan kebijakan pidana atau politik hukum pidana, hal itu adalah sepenuhnya berada dalam wilayah kewenangan pembentuk undang-undang," ucapnya.
Namun dari sembilan hakim MK terdapat empat hakim yang memiliki perbedaan pendapat atau dissenting opinion atas putusan tersebut, yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams dan Aswanto.
Menurut mereka, dengan menyatakan bahwa zina seharusnya meliputi adultery (perselingkuhan) dan fornication (hubungan seksual di luar nikah), Mahkamah tidak menjadi
"positive legislator” atau memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana, melainkan mengembalikan kembali konsep zina sesuai dengan nilai hukum dan keadilan menurut berbagai nilai agama dan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia.