Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Perangkap Pasca-demokrasi

Kompas.com - 13/12/2017, 08:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

PADA tahun 2004, terbit sebuah buku dari seorang profesor ilmu politik Warwick University, Colin Crouch, berjudul "Postdemocracy". Isu yang diangkat sangat menarik, walaupun cukup disayangkan karena substansi yang dibawa Colin Crouch tidak terlalu populer di tahun-tahun berikutnya.

Kendati demikian, banyak indikasi yang dikatakan Colin Crouch sebenarnya eksis dalam realitas perdemokrasian, termasuk di Indonesia. Dengan indikasi teknis yang hampir sama, kemudian di daratan Amerika, Larry Diamond juga akhirnya menyimpulkan bahwa telah terjadi resesi demokrasi di negara-negara yang awalnya sempat terkena sapuan gelombang ketiga demokrasi versi Samuel P Huntington.

Dalam tulisannya di Journal of Democracy, Facing Up to Democratic Reccesion, Januari 2015, Diamond mengungkapkan bahwa sejak 2006, sebagian negara yang terkena gelombang demokratisasi versi Samuel P Huntington mulai memperlihatkan angka freedom score yang memburuk.

Sekitar tahun 2006, perluasan kebebasan dan semangat berdemokrasi di dunia terhenti. Tidak ada perluasan signifikan dari jumlah negara yang menganut demokrasi elektoral. Angkanya hanya bergerak tipis pada kisaran 114 dan 119 negara atau sekitar 60 persen dari negara-negara di dunia.

Bahkan berdasarkan data yang diungkapkan oleh Diamond, jumlah negara yang mengadakan pemilihan secara demokratis (demokrasi liberal) mulai menurun dan pelan-pelan stagnan.

Diamond menulis, "Sejak tahun 2000, saya menghitung 25 kerusakan demokrasi di dunia, tidak hanya melalui kudeta militer atau eksekutif yang terang-terangan mendominasi segala lini, tapi juga melalui degradasi hak-hak demokrasi yang ekstrem dan bertahap. Beberapa dari kerusakan tersebut terjadi pada negara-negara yang menjalankan demokrasi dalam kualitas rendah. Hampir dalam setiap kasus terlihat kualitas kompetisi dari pemilihan multipartai cenderung terdegradasi ke bawah standar minimal demokrasi."

Dalam konteks dan perspektif yang sedikit berbeda, pendapat Diamond diamini oleh Francis Fukuyama dalam karya penghormatannya terhadap Samuel Huntington, yakni Political Decay dan Political Order (judul ini juga digunakan oleh Huntington pada tahun 1960-an).

Indikasi yang disampaikan Colin, diselidiki oleh Diamond, dan diamini oleh Francis Fukuyama adalah bahwa kehidupan demokrasi dalam sebuah negara pada akhirnya hanya perkara prosedural, itu pun kian melemah kualitasnya.

Pemilu dijalankan, lembaga demokrasi dilengkapi, media diberi ruang bebas, dan lain-lain, tetapi keberpihakan keputusan publik tetap mutlak terletak di tangan-tangan oligarki ekonomi politik, alias di tangan-tangan beberapa orang saja.
 
Diamond dan Frank (panggilan akrab Francis Fukuyama) menyebutnya pratrimonialisme politik dan patron-clientalisme. Adapun Colin Crouch menyebutnya neo-aristocratic system.

Persamaan pandangan dari ketiga tokoh tersebut adalah bahwa demokrasi pada akhirnya hanya perkara seremoni di satu sisi, gegayaan, sok demokratis, biar trendy secara politik, dan ikut- ikut tren global.

Namun di sisi lain, kenyataannya hanya digunakan oleh oligar-oligar untuk membangun impresi bahwa di satu sisi daerah kekuasaannya layak dianggap demokratis, sementara kepentingan mereka di sisi lain terselamatkan.

Di ranah yang lain, ranah pengambil keputusan, ternyata demokrasi sudah selesai saat para pemilih pulang dari bilik suara, lalu kembali berjibaku dengan kehidupan masing-masing.

Kedaulatan dianggap sudah berpindah, bertransformasi menjadi kekuasaan dan wewenang yang kemudian dimonopoli oleh beberapa oligar saja. Lama kelamaan, hal yang demikian kemudian melahirkan tatanan masyarakat yang juga bersifat postdemocratic.

Masyarakat menikmati hak pilih, menikmati kebebasan media, menonton kegilaan-kegilaan wakil-wakil rakyat dengan bebas, menggunjingkan kepala-kepala daerah yang korup yang telah mereka pilih, lalu menertawakannya. Namun, saat tahun politik datang, pemilih mencoblos lagi, as usual.

Demokrasi pada akhirnya diperlakukan sebagai seremoni secara bersama-sama (massive), bak pesta kemerdekaan tujuh belasan yang hanya sekali setahun, misalnya. Dengan kata lain, tatanan demokrasi pelan-pelan dijangkiti budaya patrimonialistik.

Menurut Francis Fukuyama dalam bukunya Political Order and Political Decay: from Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (2014), terdapat penyakit akut terkait dengan pembangunan politik di banyak negara yang sedang membangun (developing countries).

Permasalahannya terletak pada peran negara yang lemah dan cenderung tak efektif. Para elite penguasa lebih lihai menampilkan kekuasaan despotik, suatu kemampuan untuk melakukan tekanan kepada pihak lawan seperti jurnalis, politisi oposan, dan kelompok-kelompok pesaing.

Akan tetapi, mereka tidak memiliki kekuatan dalam aspek kekuasaan infrastruktural, yaitu kemampuan untuk menghadirkan penguatan hukum yang adil dan penyediaan barang-barang publik seperti keselamatan, kesehatan, dan pendidikan.

Kondisi yang demikian jamak dengan irama postdemocracy besutan Colin Crouch. Begini jabaran beliau, "a post-democratic society is one that continues to have and to use all the institutions of democracy, but in which they increasingly become a formal shell. The energy and innovative drive pass away from the democratic arena and into small circles of a politico-economic elite."

Perkembangannya secara teknis-empiris, terutama untuk Indonesia, demokrasi menjadi semacam standar minimal saja.

Sementara itu, di sisi lain dinasti politik, pelibatan sanak famili ke dalam panggung politik, maraknya politik balas budi, politik harga pertemanan, justru tetap mekar semringah di mana pada akhirnya kerentanan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme juga kian terpupuk dan meningkat.

Dengan kata lain, demokrasi diperlakukan semata sebagai instrumen teknis yang tidak terkait dengan tujuan yang lebih tinggi, seperti pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan, keadilan sosial, dan perhargaan kepada kemanusiaan serta hak-hak sosial ekonomi yang melekat.

Saya kira, kita memang perlu melakukan refleksi mendalam tentang sikap kita terhadap demokrasi yang sedang kita nikmati saat ini.

Kelengahan publik, terutama dari kalangan intelektul dan masyarakat sipil, bisa saja secara tak sadar memarkir demokrasi Indonesia di tempat yang tidak semestinya.

Bukan hanya itu, segmentasi konflik yang kian captive tanpa manajemen perbedaan yang mumpuni akibat kontestasi-kontestasi yang kurang sehat juga bisa membawa kita kepada demokrasi dengan ruang interpretasi yang sangat sempit, yaitu demokrasi versi masing-masing, demokrasi yang sejalan dengan keberlanjutan kepentingan dan kebahagiaan sendiri-sendiri. Dan, kemudian dijadikan bahan racikan oleh aktor-aktor elite untuk terbebas dari tugas mulia mereka sebagai petinggi-petinggi negeri. Semoga tak demikian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Puncak Perayaan HUT Ke-78 TNI AU Akan Digelar di Yogyakarta

Puncak Perayaan HUT Ke-78 TNI AU Akan Digelar di Yogyakarta

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Sudirman Said Berharap MK Penuhi Rasa Keadilan

Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Sudirman Said Berharap MK Penuhi Rasa Keadilan

Nasional
Sejauh Mana 'Amicus Curiae' Berpengaruh pada Putusan? Ini Kata MK

Sejauh Mana "Amicus Curiae" Berpengaruh pada Putusan? Ini Kata MK

Nasional
Alasan Prabowo Larang Pendukungnya Aksi Damai di Depan MK

Alasan Prabowo Larang Pendukungnya Aksi Damai di Depan MK

Nasional
TKN Prabowo Sosialisasikan Pembatalan Aksi di MK, Klaim 75.000 Pendukung Sudah Konfirmasi Hadir

TKN Prabowo Sosialisasikan Pembatalan Aksi di MK, Klaim 75.000 Pendukung Sudah Konfirmasi Hadir

Nasional
Tak Berniat Percepat, MK Putus Sengketa Pilpres 22 April

Tak Berniat Percepat, MK Putus Sengketa Pilpres 22 April

Nasional
Prabowo Klaim Perolehan Suaranya yang Capai 58,6 Persen Buah dari Proses Demokrasi

Prabowo Klaim Perolehan Suaranya yang Capai 58,6 Persen Buah dari Proses Demokrasi

Nasional
Hakim MK Hanya Dalami 14 dari 33 'Amicus Curiae'

Hakim MK Hanya Dalami 14 dari 33 "Amicus Curiae"

Nasional
Dituduh Pakai Bansos dan Aparat untuk Menangkan Pemilu, Prabowo: Sangat Kejam!

Dituduh Pakai Bansos dan Aparat untuk Menangkan Pemilu, Prabowo: Sangat Kejam!

Nasional
Sebut Pemilih 02 Terganggu dengan Tuduhan Curang, Prabowo: Jangan Terprovokasi

Sebut Pemilih 02 Terganggu dengan Tuduhan Curang, Prabowo: Jangan Terprovokasi

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL | 'Amicus Curiae' Pendukung Prabowo

[POPULER NASIONAL] Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL | "Amicus Curiae" Pendukung Prabowo

Nasional
Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Nasional
Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Nasional
Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com