JAKARTA, KOMPAS.com — Setya Novanto akhirnya bersedia mundur dari jabatannya sebagai ketua DPR. Dari dalam Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi, tersangka kasus korupsi proyek e-KTP itu disebut-sebut sudah mengirimkan surat pengunduran diri kepada Fraksi Partai Golkar di DPR.
Namun, dalam surat pengunduran diri tersebut, Novanto turut menunjuk Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Partai Golkar Aziz Syamsuddin menggantikan posisinya.
Aziz menilai, surat tersebut sah dan ia mengaku siap menjadi ketua DPR menggantikan Novanto.
Meski demikian, internal Partai Golkar bergejolak dan menolak surat yang ditandatangani Setya Novanto itu.
(Baca juga: Surat dari Setya Novanto Dinilai Bikin Malu Golkar dan DPR)
Politisi Golkar, Yorrys Raweyai, misalnya, menilai surat pengunduran diri tersebut justru menjadi strategi Novanto mempertahankan kekuasaan.
"Nah itulah, ada kekuatan yang ingin mempertahankan kekuasaan guna melindungi koruptor, ini bahaya sekali. Apalagi, dia dalam status dipenjara," kata Yorrys di Hotel Manhattan, Minggu (10/12/2017).
Jika surat penunjukan untuk Aziz itu benar adanya, Yorrys menilai, hal itu bisa merusak citra DPR dan Partai Golkar. Yorrys berpendapat, kalau nanti DPR benar-benar menerima surat tersebut, DPR tak ubahnya lembaga yang lucu.
"Kita lihat saja, ini kan lucu kalau DPR benar menerimanya. Kita mempertontonkan suatu kebodohan dan ini ada apa sebetulnya. Ini kan sama saja melindungi koruptor," ujarnya.
(Baca: Yorrys: DPR Lucu kalau Terima Usulan Novanto)
Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono meminta DPP Partai Golkar menahan diri dalam menunjuk ketua DPR.
Agung menilai bahwa keputusan terkait penunjukan ketua DPR bersifat strategis sehingga harus diputuskan kepemimpinan yang memiliki legitimasi.
"Sah saja kalau ada masukan untuk segera menunjuk ketua DPR. Tetapi, karena saat ini Partai Golkar dipimpin Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum, yaitu Pak Idrus Marham, saya khawatir jika keputusan itu nantinya dipertanyakan legitimasinya," kata Agung.
Agung pun mengusulkan penunjukan ketua DPR dilakukan setelah Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar selesai dilakukan dan terpilih ketua umum yang definitif.
"Saya kira setelah Munaslub saja sehingga memiliki legitimasi kuat. Pimpinan DPR pasti mempertimbangkan hal itu juga," ucap mantan Ketua DPR ini.
(Baca: Agung Laksono Minta Partai Golkar Tunjuk Ketua DPR Seusai Munaslub)
Papa minta saham
Mundur saat dalam posisi kepepet bukan kali pertama ini saja dilakukan Setya Novanto. Pada pengujung 2015, Novanto juga pernah mengundurkan diri dari posisinya sebagai ketua DPR karena terjerat dalam kasus pelanggaran etika yang populer dengan istilah "papa minta saham".
Novanto dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral saat itu, Sudirman Said.
Novanto bersama pengusaha minyak Riza Chalid diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk meminta saham kepada Presiden Direktur PT Freeport Indonesia saat itu, Maroef Sjamsoeddin.
Percakapan saat Novanto dan Riza meminta saham direkam Maroef dan dijadikan barang bukti.
Mayoritas anggota MKD menyatakan bahwa Novanto melanggar kode etik. Hal itu mengharuskan Setya Novanto dicopot dari jabatannya sebagai ketua DPR.
Namun, sebelum keputusan akhir diketuk, Novanto sudah terlebih dulu mengirim surat pengunduran diri sebagai ketua DPR kepada MKD.
(Baca juga: Setahun Berlalu, Apa Kabar Kelanjutan Kasus "Papa Minta Saham"?)
Akhirnya, MKD memutuskan menerima surat pengunduran diri tersebut dan menutup kasus Setya Novanto. Tak pernah ada pernyataan dari MKD bahwa Novanto telah melakukan pelanggaran kode etik sedang.
Ketua Umum Partai Golkar saat itu, Aburizal Bakrie, akhirnya menunjuk Ade Komarudin untuk menggantikan posisi Novanto sebagai ketua DPR. Sementara Novanto masih mendapat jabatan strategis dengan menempati posisi Ade sebelumnya sebagai ketua Fraksi Partai Golkar.
Karier politik Setya Novanto pun tetap moncer. Pada Mei 2016, Novanto terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar dalam forum Musyawarah Nasional Luar Biasa di Bali menggantikan Aburizal. Ia berhasil unggul dari Ade Komarudin, pesaing terberatnya.
Menjabat posisi ketua umum membuat Setya Novanto berkuasa untuk menentukan posisi alat kelengkapan di DPR.
Novanto pun akhirnya menunjuk dirinya sendiri untuk kembali menjabat ketua DPR menggeser posisi Ade Komarudin.