JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Agung didesak segera turun tangan untuk membenahi pengadilan di bawahnya yang masih menjadi sarang korupsi di dunia peradilan dalam negeri.
Hal itu berdasarkan hasil temuan praktik korupsi yakni pungutan liar pada pelayanan publik di bidang administrasi perkara di lima pengadilan negeri yang ada di Medan, Bandung, Malang, Yogyakarta, dan Banten.
"MA perlu melakukan standarisasi acuan dalam penetapan standar biaya perkara secara transparan dan akuntabel di tiap pengadilan negeri," ujar peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI, Siska Trisia di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta, Jumat (9/12/2017).
Menurut Siska, perlu juga dilakukan penyederhanaan proses administrasi perkara di pengadilan negeri, mulai dari pendaftaran surat kuasa hingga tahap pengambilan salinan putusan, serta layanan publik lainnya yang terdapat di pengadilan.
"Bahkan tidak diakuinya keabsahan putusan yang ada di direktori putusan MA menyebabkan para pengguna layanan harus tetap berhubungan langsung dengan aparatur pengadilan terkait," kata Siska.
MA, lanjut Siska, perlu memaksimalkan penerapkan pembayaran yang terdigitalisasi, terkomputerisasi dengan sistem satu pintu, guna membatasi pertemuan langsung antara pemberi dan penerima layanan yang berpotensi menjadi celah korupsi.
Baca juga : MaPPI Ungkap Maraknya Pungli di Lima Pengadilan Negeri di Indonesia
Siska menambahkan, MA harus tegas menegakkan prosedur pengawasan dan pembinaan aparatur pengadilan non hakim secara langsung melalui penegakan kode etik dan sanksi, seperti sanksi,promosi dan mutasi.
"Itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya," ucap Siska.
Terakhir, MA perlu melibatkan pihak-pihak lain di luar lembaganya dalam upaya pembenahan pelayanan publik di pengadilan, seperti Ombudsman RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).