JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, merilis hasil pemetaan praktik korupsi pada pelayanan publik di bidang administrasi perkara di lima pengadilan negeri di Indonesia.
Hasilnya masih ditemukan praktik pungutan liar di lima pengadilan negeri yang ada di Medan, Bandung, Malang, Yogyakarta, dan Banten.
"Pungutan liar dalam pelayanan publik di pengadilan, khususnya untuk pendaftaran surat kuasa dan biaya salinan putusan masih terjadi di lima daerah di Indonesia," ujar Peneliti MaPPI FHUI, Siska Trisia di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta, Jumat (9/12/2017).
Baca juga : Akan Temui Ombudsman, DKI Minta Video Bukti Pungli Satpol PP Dibuka
Menurut Siska, dari data yang didapat pihaknya, para pelaku pungutan liar terhadap layanan pendaftaran surat kuasa dan biaya salinan putusan tersebut dilakukan oleh panitera pengganti dan panitera muda hukum.
Modus yang sering digunakan oleh oknum tersebut adalah dengan menetapkan biaya di luar ketentuan dan tidak dibarengi dengan tanda bukti bayar, serta tidak menyediakan uang kembalian, sebagai imbalan atau uang lelah dan memperlama layanan jika tidak diberikan tip atau uang yang diminta.
"Misalnya untuk biaya pungutan surat kuasa berkisar antara Rp 10.000 hingga lebih dari Rp 100.000 per surat kuasa. Sedangkan untuk mendapatkan salinan putusan baiaya dipatok muai dari Rp 50.000 hingga lebih dari Rp 500. 000 per putusan," ungkap Siska.
Baca juga : Ombudsman Temukan Oknum Satpol PP DKI Tarik Pungli ke PKL
Siska pun mendesak persoalan korupsi di peradilan tersebut segera dibersihkan. Sebab, praktik pungutan liar tersebut bertentangan dengan fungsi pengadilan sebagai lembaga pelayanan publik.
"Sangat disayangkan praktik pungutan liar tersebut masih terjadi, apalagi Mahkamah Agung sudah cukup banyak menerbitkan berbagai peraturan untuk memberantas praktik pungutan liar serta mempermudah masyarakat dalam mengakses layanan publik di pengadilan," kata Siska.
"Mahkamah Agung juga sudah berkomitmen dalam memberantas praktik korupsi di pengadilan dan menindak tegas oknum-oknum yang melakukan praktik tersebut. Ini tentu merugikan Mahkamah Agung dan pengadilan yang berada di bawahnya," tambahnya.