JAKARTA, KOMPAS.com - Dwi Aryani, seorang penyandang disabilitas yang mendapatkan perlakuan diskriminasi dari maskapai Etihad Airways, kini bisa bernafas lega.
Tindakan diskriminasi dialaminya saat diminta turun dari pesawat dengan alasan karena ia menggunakan kursi roda tanpa pendampingan dan dianggap dapat menganggu penerbangan.
Dwi mengajukan gugatan atas perlakuan yang diterima. Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang menyidangkan kasus ini mengabulkan gugatan Dwi.
Kini, Dwi berbagi pesan kepada masyarakat luas setelah memenangi gugatannya.
"Rekan-rekan sekalian, sejak memulai petisi ini, saya menerima banyak sekali dukungan. Perlakuan diskriminatif terhadap saya sebagai disabilitas, ternyata banyak dialami juga oleh teman-teman lain. Itulah yang menjadi alasan utama saya membawa kasus ini ke jalur hukum," ujar Dwi seperti dikutip dari Change.org, Kamis (8/12/2017).
Baca: Etihad Airways Divonis Melanggar Hukum dan Wajib Bayar Ganti Rugi Rp 537 Juta
Menurut Dwi butuh proses panjang hingga akhirnya kasusnya tersebut diputus oleh pengadilan, dan dimenangkannya.
"Yang dilakukan tergugat adalah perbuatan diskriminasi dan bertentangan UU NO19/2011 tentang ratifikasi Konvensi Hak-Hak Disabilitas, demikian pernyataan majelis hakim," kata Dwi, menirukan bagian dari putusan hakim.
Bagi Dwi, putusan itu menjadi kado untuk Hari Disabilitas yang diperingati setiap 3 Desember.
Baca juga: Perjuangan Dwi Aryani Mencari Keadilan Setelah Diusir Etihad Airways
Bahkan, putusan itu dianggapnya bisa menjadi preseden di masa depan, agar tak ada lagi yang mengalami diskriminasi seperti yang diterimanya.
"Saya berterima kasih sebesar-besarnya atas dukungan hampir 50 ribu penandatangan petisi, tim pengacara bapak Heppy Sebayang, dan seluruh masyarakat disabilitas di Indonesia," kata Dwi.
"Dukungan kalian yang selalu saya bawa tiap saat, baik saat melakukan advokasi ke Kementerian Perhubungan dan Kementerian Sosial, juga saat berproses di pengadilan," lanjut dia.
Dwi menilai, dukungan yang diterimanya tersebut menunjukkan bahwa masih banyak orang-orang yang peduli dan berani bersuara atas hak-hak yang dirampas.
"Kemenangan ini menunjukkan bahwa suara kita berdampak dan berarti banyak. Jadi, jangan pernah berhenti bersuara demi terwujudnya hak kita," ujar Dwi.
Baca juga: Ini Pembelajaran dari Kasus Dwi Aryani untuk Maskapai Penerbangan...
Ia berharap, kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi para penyedia jasa untuk menghormati hak-hak disabilitas.
"Saya juga berharap Kementerian Perhubungan membuat kebijakan khusus agar penyedia jasa transportasi bisa mengakomodasi hak-hak disabilitas," kata dia.
Putusan hakim
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebelumnya telah memutus Etihad Airways melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 134 UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan.
Dalam undang-undang tersebut diatur hak penumpang penerbangan berkebutuhan khusus.
Hakim ketua Ferry Agustina Budi Utami mengatakan, Etihad Airways selaku maskapai penerbangan wajib memberikan akses, fasilitas, dan pendampingan khusus terhadap penyandang disabilitas.
Dwi sebagai penumpang dengan kebutuhan khusus juga berhak mendapatkan fasilitas tambahan seperti tempat duduk, fasilitas untuk naik dan turun pesawat, fasilitas selama pesawat mengudara, dan sarana lain yang menunjang untuk penyandang disabilitas
Ditambah lagi, fasilitas khusus tersebut tidak dikenakan biaya ekstra.
Karena dinyatakan melanggar hukum, maka Etihad Airways wajib membayar ganti rugi sebagaimana digugat Dwi dalam permohonannya.
Baca: Diskriminasi Etihad terhadap Dwi Ariyani Diharapkan Jadi yang Terakhir
Dalam gugatannya, Dwi meminta ganti rugi materiil sebesar Rp 178 juta dan imateriil sebesar Rp 500 juta. Namun, hakim menimbang ganti rugi materiil yang harus dibayarkan hanya Rp 37 juta.
Menurut pertimbangan hakim, sejumlah biaya seperti asuransi dan akomodasi ditanggung oleh Disability Right Fund (DRF) sebagai pihak yang mengundang Dwi.
Selain itu, Hakim mengabulkan gugatan ganti rugi imateriil sebesar Rp 500 juta karena Dwi merupakan satu-satunya perwakilan Indonesia dalam acara internasional itu dalam rangka pelatihan untuk penyandang disabilitas.