Kepuasan rakyat
Efek pembangunan infrastruktur terbilang besar. Berdasarkan survei yang Indikator Politik Indonesia pada 17-24 September 2017, 68,3 persen masyarakat menyatakan puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Persentase keyakinan atas kepemimpinan Jokowi pun, menurut survei itu, mencapai 72,6 persen.
Empat dari lima isu teratas yang diyakini masyarakat mampu ditanggulangi oleh pemerintah adalah isu pembangunan infrastruktur.
Isu tersebut yaitu pembangunan jalan umum (72 persen), pembangunan sarana transpotasi (60 persen), membangun jalan tol di luar Jawa (56 persen), dan membangun jalan lintas provinsi di luar jawa (56 persen).
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menilai, dengan data itu Presiden Jokowi memiliki modal elektoral besar pada Pilpres 2019 mendatang.
Besarnya kepuasan masyarakat kepada pemerintahan Jokowi juga tercermin dari survei Litbang Kompas yang mencapai 70,8 persen, dan survei Poltracking Indonesia sebesar 67,9 persen.
(Baca juga: Survei Indo Barometer, 61,8 Persen Ingin Jokowi Kembali Jadi Presiden)
Kekuatan elektoral
Meski punya modal besar dengan kekuatan elektoral dipilih lagi oleh 34,2 persen masyarakat, Jokowi tak lantas bisa mulus terpilih lagi sebagai Presiden pada 2019. Di ranah politik, waktu dua tahun ke depan adalah waktu yang cukup untuk memutarbalikkan segala data dan fakta.
Isu-isu non kinerja bisa saja dimainkan untuk menggembosi modal besar Jokowi. Apalagi, survei Indikator Politik Indonesia juga menemukan ada isu lain yang dianggap lekat dengan Jokowi, meski persentasenya tidak lebih dari 20 persen.
Isu itu mulai dari isu anti-Islam, isu kebangkitan PKI, hingga isu Jokowi keturunan China. Isu-isu tersebut merupakan isu di luar kinerja yang bisa saja menggerus modal Jokowi.
Tidak hanya isu non kinerja, isu pembangunan infrastruktur sendiri bisa juga jadi bumerang. Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, banyak konflik agraria terjadi jutru akibat pembebasan lahan proyek-proyek infrastruktur.
Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, penyebab konflik agraria adalah perluasan perkebunan, terutama kelapa sawit.
(Baca juga: Survei Poltracking: 57,9 Persen Responden Pilih Jokowi pada 2019)
Belum lagi, ada tiga isu yang selalu dilihat publik, yaitu kemampuan pemerintah mengurangi jumlah penduduk miskin, menyediakan lapangan kerja, dan mengurangi pengangguran.
Sementara bila dilihat peta elektoralnya, wilayah Indonesia timur, apalagi Papua, terbilang kecil dibandingkan pulau besar lainnya, apalagi Jawa.
Artinya, bila semua masyarakat Papua memilih Jokowi sekalipun, suara mantan Wali Kota Solo itu belum tentu menggelembung drastis secara nasional.
Lantas apa yang perlu dilakukan?
Menurut Burhanuddin, Jokowi bisa melakukan "branding" pembangunan infrastruktur. Jangan sampai, infrastruktur hanya berhenti pada penekanan sirene atau gunting pita semata. Atau lebih parah lagi, infrastruktur hanya diimajinasikan sebagai benda mati.
"Infrastuktur kesannya hanya berhenti pada peresmian-peresmian jalan tol, berhenti pada pengguntingan pita," kata Burhanuddin Muhtadi di Jakarta, Rabu (29/11/2017).
Selain "branding" infrastruktur, Jokowi juga harus percaya diri menunjukkan pembangunan di desa-desa. Berkat gelontoran triliunan dana desa, pembangunan di desa-desa berjalan, lapangan kerja tercipta.
(Baca juga: Pemerintah Terus Dorong Swasta Investasi Proyek Infrastruktur)
Akan tetapi, Jokowi lebih gemar meresmikan jalan tol. Isu pembangunan desa justru tertutup oleh isu penyelewengan dana desa. Padahal, pembangunan yang bisa dirasakan oleh rakyat banyak adalah pembangunan di desa-desa.
"Menurut saya infrastruktur enggak bisa hanya melihat tol dan sebagainya. Ada infrastruktur besar yang dijalankan pemerintah yang melibatkan orang desa. Ini gen politik besar bagi Jokowi. Bukan cuma Papua yang dibangun tetapi seluruh desa di Jawa dan luar Jawa," kata Iwan.
Kini pilihan ada di tangan Jokowi sendiri, rakyat hanya menunggu manfaat nyata pembangunan infrastruktur bagi peningkatan kesejahteraan.