Bukan kali pertama
Dwi menyebut bahwa diskriminasi dalam pelayanan penerbangan bukan pertama kalinya dialami penyandang disabilitas.
Bahkan, rekannya pernah menang gugatan terhadap salah satu maskapai penerbangan Indonesia akibat tidak menyediakan fasilitas khusus untuk penyandang disabilitas.
"Waktu itu kalau tidak salah teman saya naik tangga pesawat merangkak, tidak mau menyediakan, tidak mau mendampingi dari maskapai itu untuk masuk ke pesawat," kata Dwi.
Mulanya, teman Dwi diberi pilihan oleh pihak maskapai. Pertama, orang tersebut harus naik dan turun pesawat sendiri tanpa dilengkapi fasilitas atau tidak jadi berangkat.
Namun, karena teman Dwi harus menghadiri acara yang sangat penting soal disabilitas, maka ia memaksakan diri berangkat tanpa ditunjang fasilitas memadai. Selain itu, kata Dwi, masih banyak kasus serupa yang luput dari pemberitaan.
"Kalau mau jujur, kami sudah sangat lelah. Kami berharapnya adalah penegakan hukum itu," kata Dwi.
(Baca juga: Ombudsman: Kemenhub Abaikan Kasus Dwi Aryani vs Etihad Airways)
Etihad Airways dianggap melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 134 UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam undang-undang tersebut diatur hak penumpang penerbangan berkebutuhan khusus.
Etihad Airways sebelumnya menurunkan Dwi Aryani dari pesawat karena menggunakan roda dua tanpa pendampingan dan dianggap dapat membahayakan penerbangan.
Hakim ketua Ferry Agustina Budi Utami mengatakan, semestinya Etihad Airways selaku maskapai penerbangan wajib memberikan akses, fasilitas, dan pendampingan khusus terhadap penyandang disabilitas.
Apalagi syarat Dwi sebagai penumpang telah terpenuhi, yakni memiliki tiket, melakukan check in, memiliki boarding pass, bahkan sudah masuk pesawat dibantu staf service bandara.
Ferry menambahkan, Dwi tidak dalam kondisi yang membahayakan penerbangan maupun penumpang lain karena tidak dalam keadaan mabuk ataupun membawa bom.
"Menimbang, bahwa Tergugat I (Etihad Airways) tidak melakukan kewajibannya, maka dapak dikualifikasikan perbuatan melawan hukum," kata hakim Ferry saat membacakan putusan.
Etihad Airways juga wajib membayar ganti rugi sebagaimana digugat Dwi dalam permohonannya.
Dalam gugatannya, Dwi meminta ganti rugi materil sebesar Rp 178 juta dan imateril sebesar Rp 500 juta. Namun, hakim menimbang ganti rugi materil yang harus dibayarkan hanya Rp 37 juta.
Selain itu, Hakim mengabulkan gugatan ganti rugi imateriil sebesar Rp 500 juta karena Dwi merupakan satu-satunya perwakilan Indonesia dalam acara internasional itu dalam rangka pelatihan untuk penyandang disabilitas.
Selain itu, hakim mengabulkan gugatan agar Etihad Airways mengajukan permintaan maaf terbuka melalui media.
"Dari pertimbangan tersebut, maka petitum Penggugat dapat dikabulkan sebagian," kata Ferry.