JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menetapkan Wali Kota Mojokerto Masud Yunus sebagai tersangka kasus suap pada 23 November silam.
Masud diduga ikut terlibat bersama-sama melakukan penyuapan terhadap pimpinan DPRD Kota Mojokerto, dalam kasus suap pengalihan anggaran pada Dinas PUPR Kota Mojokerto tahun 2017.
Namun, hingga saat ini Masud belum mengenakan rompi oranye alias berstatus tahanan KPK. Lalu apa alasan KPK belum menahan Masud?
"Alasan itu sepenuhnya menjadi kewenangan dari penyidik," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha, di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (4/12/2017).
(Baca juga: KPK Perpanjang Penahanan Tiga Tersangka Kasus Suap DPRD Kota Mojokerto)
Ada dua pertimbangan penyidik perihal menahan seorang tersangka, yaitu pertimbangan obyektif dan subyektif.
Pertimbangan objektif, kata Priharsa, menyangkut dugaan pasal yang disangkakan itu diancam hukuman lima tahun. Sementara pertimbangan subjektif, yang bersangkutan dikhawatirkan menghilang bukti, mengulangi perbuatannya atau melarikan diri.
Dalam kasus Masud, pertimbangan itu yang belum diambil penyidik.
"Pertimbangan itu yang belum diambil oleh penyidik sampai dengan saat ini," ujar Priharsa.
Masud merupakan tersangka kelima dalam kasus ini. Empat tersangka lain yaitu Ketua DPRD Kota Mojokerto Purnomo, Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Abdullah Fanani, Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Umar Faruq, dan Kepala Dinas PU dan Penataan Ruang Pemkot Mojokerto, Wiwiet Febryanto.
(Baca juga: Wali Kota Mojokerto Bantah Instruksikan Suap ke Pimpinan DPRD)
KPK menduga Masud bersama-sama Kepala Dinas PU dan Penataan Ruang Pemkot Mojokerto, Wiwiet Febryanto, memberikan suap berupa hadiah atau janji terhadap pimpinan DPRD Kota Mojokerto.
Suap itu diduga agar DPRD Kota Mojokerto menyetujui pengalihan anggaran dari anggaran hibah Politeknik Elektronik Negeri Surabaya (PENS) menjadi anggaran program penataan lingkungan pada Dinas PUPR Kota Mojokerto Tahun 2017 senilai Rp 13 Miliar.
Dalam kasus ini, Masud disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.