JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) absen dalam sidang perdana praperadilan yang diajukan Ketua DPR RI Setya Novanto, Kamis (30/11/2017). Akhirnya, sidang tersebut diundur hingga 7 Desember 2017.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang membantah bahwa pihaknya kekurangan sumber daya manusia sehingga tidak hadir dalam sidang tersebut.
"(SDM) kurang dengan mengerjakan yang lebih penting itu beda lagi," ujar Saut melalui pesan singkat, Kamis.
Muncul anggapan bahwa KPK sengaja mengulur waktu. Dengan demikian, saat praperadilan dimulai pekan depan, KPK telah melimpahkan perkara tersebut ke praperadilan.
Saut menepis anggapan tersebut. Menurut dia, dalam waktu bersamaan, anggota biro hukum sebagai kuasa hukum KPK harus mengerjakan pekerjaan lain.
"Hanya soal alokasi resources (sumber daya) saja. Kalau untuk menunda kan tidak mesti harus datang," kata Saut.
(Baca juga: KPK Tidak Hadir, Hakim Tunda Sidang Praperadilan Novanto hingga 7 Desember)
Saut mengatakan, saat ini penyidik masih menyusun berkas perkara Novanto menjadi lebih tertata. Namun, ia tak ingin disebut bahwa alat bukti penyidik masih kurang untuk dilimpahkan ke pengadilan.
"Merampungkan karena data yang kurang dengan menyusunnya kembali menjadi lebih mudah dipahami karena tertata dengan lebih rapi itu berbeda," kata Saut.
Dalam sidang tersebut, perwakilan KPK tak hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Melalui surat, KPK meminta hakim menunda sidang hingga jangka waktu tiga minggu ke depan. Namun, hakim memutuskan sidang ditunda satu pekan saja.
(Baca juga: KPK Tidak Hadir di Praperadilan Perdana, Ini Tanggapan Pihak Novanto)
Novanto mengajukan gugatan praperadilan pada 15 November 2017 lalu, pasca-ditetapkan kembali menjadi tersangka kasus proyek e-KTP.
Dalam kasus tersebut, KPK menduga Novanto bersama sejumlah pihak menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Adapun sejumlah pihak itu antara lain Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, dua mantan Pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Bersama sejumlah pihak tersebut, Novanto diduga ikut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun, dari nilai paket Rp 5,9 triliun.
Ia disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.