Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika KKB Diyakini Bukan Sekadar Kriminal Biasa

Kompas.com - 24/11/2017, 12:25 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah tim gabungan TNI-Polri berhasil melakukan operasi terpadu untuk mengevakuasi 344 warga desa di Tembagapura, Papua, yang ditahan kelompok kriminal separatis bersenjata pada Jumat (17/11/2017) siang, muncul beberapa fakta baru.

Fakta pertama datang dari Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Gatot, saat memberikan sambutan pada acara Malam Akrab Musyawarah Nasional Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri) di Hotel Kartika Chandra, Jakarta Selatan, Rabu (22/11/2017) malam, mengatakan, ada 3 tuntutan yang diajukan kelompok bersenjata itu.

Pertama, mereka meminta PT Freeport harus segera ditutup. Kedua, militer Indonesia harus ditarik keluar dari Papua dan diganti dengan pasukan Keamanan PBB.

Ketiga, Pemerintah Indonesia harus menyetujui pelaksanaan pemilihan bebas atau referendum. Artinya rakyat Papua bisa menentukan nasib sendiri. Kemudian kantor Pemda Papua dan Papua Barat ditutup dan diganti dengan pemerintah perwalian PBB.

(Baca juga : Ini 3 Tuntutan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata di Papua)

Gatot menegaskan, pemerintah tidak bisa memenuhi hal tersebut. Berbagai upaya sudah dilakukan agar kelompok tersebut bisa ditaklukan, namun tidak berhasil hingga akhirnya TNI harus "turun gunung" membantu Kepolisian.

"Sudah berbagai cara namun apa yang dituntut oleh gerakan kriminal bersenjata separatis tersebut tidak masuk akal," tuturnya.

"Inilah kemudian yang mendorong TNI untuk melakukan langkah-langkah pembebasan sandera," kata Gatot melanjutkan.

Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/11/2017)Kompas.com/Rakhmat Nur Hakim Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/11/2017)

(Baca juga : Komisi I DPR Minta TNI-Polri Tuntaskan Masalah Separatisme di Papua)

Fakta kedua datang dari Wakil Ketua Komisi I DPR RI TB Hasanuddin.

Ia menyebut kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang beraksi di Papua belakangan ini bukan kelompok kriminal biasa.

Dia menegaskan bahwa kelompok tersebut bagian dari Organisasi Papua Merdeka. Hal itu terlihat dari kegiatan mereka.

"Ya memang kalau dipelajari KKB itu bukan kriminal biasa. Memang bagian dari OPM. Dulu kan dibilang KKB, OPM. Saya yakin itu OPM bagian itu bagian dari kegiatan mereka," kata Hasanuddin saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (23/11/2017).

(Baca juga : Dari Mana Asal Senjata yang Dimiliki Kelompok Kriminal di Papua?)

Fakta selanjutnya datang dari Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Rikwanto, yang sekarang berjabatan sebagai Kepala Biro Multimedia di Divisi Humas Polri.

Rikwanto menyebutkan, senjata yang dipakai kelompok bersenjata itu diduga datang dari luar negeri. Pihaknya masih menelusuri dari negara mana senjata itu diselundupkan.

Dia juga menyebutkan, ada beberapa senjata yang diyakini milik para personel Polri yang gugur dalam menjalankan tugas di Papua.

"Maksudnya anggota kami yang dalam kegiatan di sana gugur dan senjata mereka diambil, dirampas. Memang ada kejadian beberapa," kata Rikwanto, Jumat (24/11/2017).


Siapakah Mereka?

Pengamat teroris dan intelijen dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya berpendapat, pelaku penembakan dan penyanderaan warga di Papua tidak bisa dilabeli sekadar Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

"Alasannya, karena ada dimensi politis dari gerakan mereka," ujar Harits kepada Kompas.com Kamis (23/11/2017).

Aparat TNI dan Polri menerima kedatangan bahan makanan yang di persiapkan untuk masyarakat di Kampung Banti dan Kimberley.Dok Humas Polda Papua Aparat TNI dan Polri menerima kedatangan bahan makanan yang di persiapkan untuk masyarakat di Kampung Banti dan Kimberley.

(Baca juga : KKB di Papua Bermuatan Politik, Siapa di Belakangnya?)

Dimensi politis yang dimaksud terlihat dari tiga tuntutan mereka seperti yang diungkapkan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

Dari tuntutan, lanjut Harits, mereka diindikasikan merupakan kelompok yang disokong beragam komponen.

"Ada orang lokal Papua yang oportunis dengan kepentingan politiknya. Orang-orang semacam ini banyak juga yang tinggal di luar negeri dan yang kedua adalah pihak asing juga perlu diwaspadai," ujar Harits.

(Baca juga : Mematikan Gerakan Separatis di Papua dengan Tingkatkan Kesejahteraan)

Keberadaan asing ikut bermain, lanjut Harits, terbaca dari setiap gejolak di Papua diikuti dengan suara dari beberapa negara. Mereka mendorong bahkan memberi tekanan yang target utamanya adalah lepasnya Papua dari Indonesia.

"Jadi KKB adalah sejatinya OPM yang punya visi politik dan melakukan beragam perlawanan dan asing ikut bermain didalamnya," lanjut dia.

(Baca juga : Kurang Apa Indonesia dengan Papua...)

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga meyakini banyaknya gejolak yang muncul di Papua bukan disebabkan oleh ketidakadilan anggaran.

"Kalau dari segi pemerintah, segi anggaran, anggaran per kapita, (alokasi) APBN itu tertinggi di Papua," ujarnya di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (14/11/2017).

Menurut Kalla, anggaran negara yang dialokasikan di Papua mendekati Rp 100 triliun. Dana tersebut bisa tersebar di kementerian atau ditransfer langsung melalui skema dana transfer daerah.

Dari sisi jumlah, dana transfer daerah dan dana desa pada 2016 lalu mencapai Rp 776 triliun. Sementara tahun ini, pemerintah menggelontorkan anggaran Rp 765 triliun.


Narasi Tandingan
Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie mengingatkan pemerintah soal intensitas acara penggalangan dukungan terhadap kelompok separatis di luar negeri.

Pemerintah, kata Connie, perlu melawan kampanye tersebut dengan narasi tandingan. Semua pihak harus diberitahu fakta sebenarnya yang terjadi dan kemajuan yang sudah diinisiasi oleh pemerintah di Papua saat ini.

Pengamat Militer Connie Rahakundini BakrieKOMPAS.com/Nabilla Tashandra Pengamat Militer Connie Rahakundini Bakrie

"Kita tidak bisa menghentikan itu, tapi kita bisa meng-counter itu, harus. Nyatakanlah Papua itu provinsi (dengan anggaran dari pusat) termahal. Kurang apa Indonesia dengan Papua, hal-hal ini kan tidak diketahui dunia luar," ujarnya.

Di sisi lain, lanjut Connie aparat juga harus berhati-hati dalam menangani kelompok bersenjata di Papua. Sebab, senjata yang kerap digunakan kelompok-kelompok di luar negeri pendukung separatisme Papua adalah HAM.

Umumnya, yang mereka sasar adalah aparat TNI. Untuk mengantisipasi agar upaya aparat dalam menjaga kedaulatan tidak dijadikan bahan kampanye hitam, maka peranan TNI di Papua harus digantikan oleh Polri.

"Karena yang namanya operasi ketertiban dan penegakan hukum (oleh Polisi), tidak ada yang boleh ikut campur," kata Connie.

"Jadi yang turun Polri saja, bahkan kemudian suatu hari, besoknya atau malamnya Kapolri telepon Panglima TNI minta bantuan, tetap saja yang maju Polri," terangnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Resolusi Gencatan Senjata di Gaza, Menlu China Sebut AS Pakai Hukum Internasional Sesuai Keinginannya Saja

Soal Resolusi Gencatan Senjata di Gaza, Menlu China Sebut AS Pakai Hukum Internasional Sesuai Keinginannya Saja

Nasional
Indonesia dan China Akan Bahas Kelanjutan Proyek Kereta Cepat, Luhut Kembali Terlibat

Indonesia dan China Akan Bahas Kelanjutan Proyek Kereta Cepat, Luhut Kembali Terlibat

Nasional
KPU Siap Laksanakan Apa Pun Putusan MK soal Sengketa Pilpres 2024

KPU Siap Laksanakan Apa Pun Putusan MK soal Sengketa Pilpres 2024

Nasional
KPU Tegaskan Caleg Terpilih Wajib Mundur jika Maju Pilkada 2024

KPU Tegaskan Caleg Terpilih Wajib Mundur jika Maju Pilkada 2024

Nasional
Megawati Kirim 'Amicus Curiae' ke MK, KPU: Itu Bukan Alat Bukti

Megawati Kirim "Amicus Curiae" ke MK, KPU: Itu Bukan Alat Bukti

Nasional
KPK Tetapkan Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Tersangka TPPU

Nasional
Menko Polhukam Sebut Mayoritas Pengaduan Masyarakat Terkait Masalah Agraria dan Pertanahan

Menko Polhukam Sebut Mayoritas Pengaduan Masyarakat Terkait Masalah Agraria dan Pertanahan

Nasional
Menko Polhukam Minta Jajaran Terus Jaga Stabilitas agar Tak Ada Kegaduhan

Menko Polhukam Minta Jajaran Terus Jaga Stabilitas agar Tak Ada Kegaduhan

Nasional
Bertemu Menlu Wang Yi, Jokowi Dorong China Ikut Bangun Transportasi di IKN

Bertemu Menlu Wang Yi, Jokowi Dorong China Ikut Bangun Transportasi di IKN

Nasional
Indonesia-China Sepakat Dukung Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Indonesia-China Sepakat Dukung Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
Setelah Bertemu Jokowi, Menlu China Wang Yi Akan Temui Prabowo

Setelah Bertemu Jokowi, Menlu China Wang Yi Akan Temui Prabowo

Nasional
Kasus Pengemudi Fortuner Pakai Palsu Pelat TNI: Pelaku Ditangkap, Dilaporkan ke Puspom dan Bareskrim

Kasus Pengemudi Fortuner Pakai Palsu Pelat TNI: Pelaku Ditangkap, Dilaporkan ke Puspom dan Bareskrim

Nasional
Saat Eks Ajudan SYL Bongkar Pemberian Uang dalam Tas ke Firli Bahuri...

Saat Eks Ajudan SYL Bongkar Pemberian Uang dalam Tas ke Firli Bahuri...

Nasional
Menlu Retno Bertemu Menlu Wang Yi, Bahas Kerja Sama Ekonomi dan Situasi Timur Tengah

Menlu Retno Bertemu Menlu Wang Yi, Bahas Kerja Sama Ekonomi dan Situasi Timur Tengah

Nasional
Soroti Kasus 'Ferienjob', Dirjen HAM Sebut Mahasiswa yang Akan Kerja Perlu Tahu Bahaya TPPO

Soroti Kasus "Ferienjob", Dirjen HAM Sebut Mahasiswa yang Akan Kerja Perlu Tahu Bahaya TPPO

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com