JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan Partai Golkar untuk mempertahankan Setya Novanto sebagai Ketua Umum, diprediksi bakal mempersulit partai berlambang pohon beringin itu saat pemilihan kepala daerah.
Isu korupsi akan membuat citra partai semakin negatif.
"Untuk Pilkada 2018, bagaimanapun calon yang ingin melamar ke Partai Golkar akan berpikir ulang untuk melamar, ketika isu korupsi ini gampang dikaitkan sama mereka," ujar pengamat politik Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, di Kantor ICW Jakarta, Selasa (21/11/2017).
Sebagai contoh, menurut Yunarto, beberapa spanduk dan banner wajah Ridwan Kamil yang diusung Golkar dalam pemilihan gubernur Jawa Barat, disandingkan dengan wajah Setya Novanto.
Iklan dukungan tersebut, kata Yunarto, secara tidak langsung mengaitkan Ridwan Kamil dan Partai Golkar yang sedang dirundung masalah korupsi.
(Baca juga : Pertahankan Novanto, Golkar Dianggap Tak Serius Perangi Korupsi)
Selain itu, ia melanjutkan, pengambilan keputusan mengenai dukungan calon kepala daerah akan lebih sulit, karena ketua umum dianggap tak cukup punya wibawa.
Efeknya, rekomendasi pilkada akan lebih cenderung bergantung pada mahar, karena banyaknya faksi.
Menurut Yunarto, pergantian Novanto seharusnya menjadi momentum Partai Golkar untuk merubah citra partai yang selama ini dirasa tidak penting.
(Baca juga : Pertahankan Novanto, Golkar Klaim Pertimbangkan Hati Nurani dan Opini Publik)
Kader Golkar seharusnya sadar bahwa mereka perlu membuat sesuat yang baru setelah partainya digoyang oleh kasus Setya Novanto.
"Bagaimana mereka membutuhkan tokoh yang bisa mengembalikan citra. Bangun image partai yang selama ini dianggap paling tidak sensitif pada isu korupsi," kata Yunarto.
Sebelumnya, rapat pleno DPP Partai Golkar memutuskan untuk mempertahankan Setya Novanto dari posisi Ketua DPR. Golkar beralasan masih menunggu proses praperadilan yang diajukan Novanto melawan KPK.
Setya Novanto ditahan di Rutan KPK pada Senin (20/11/2017) dini hari. Dalam kasus korupsi proyek e-KTP, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut, negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek Rp 5,9 triliun tersebut.
Saat ini, Novanto memang tengah melakukan upaya praperadilan atas masalah hukum yang menjeratnya.