JAKARTA, KOMPAS.com - Setya Novanto yang menjadi tersangka kasus korupsi proyek e-KTP masih enggan melepas jabatannya sebagai Ketua DPR.
Selasa (21/11/2017), Novanto mengirim surat ke Pimpinan DPR agar Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR tidak menggelar rapat konsultasi bersama seluruh fraksi ihwal dugaan pelanggaran etik yang dilakukannya karena tengah ditahan.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengaku telah menerima surat tersebut yang diantar melalui kuasa hukum Novanto.
Rapat MKD yang sedianya diadakan pukul 13.00 WIB juga ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan lantaran pimpinan fraksi tidak lengkap.
(Baca juga : Setya Novanto Minta Tidak Diganti, MKD Belum Terima Surat Resmi)
"Supaya hasilnya maksimal jadi kami tunda," ujar Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (21/11/2017).
Dalam rapat plenonya, Golkar pun menyatakan akan mengganti Novanto dari posisi Ketua DPR setelah ada putusan dari praperadilan yang telah dilayangkan Novanto.
Ia dimungkinkam tetap menjabat Ketua DPR bila memenangi praperadilan.
"Posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR menunggu putusan praperadilan," kata Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid membacakan hasil rapat.
(Baca juga : Golkar Tunggu Putusan Praperadilan untuk Ganti Novanto dari Ketua DPR)
Padahal dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) pasal 87 ayat 2, pimpinan DPR bisa diberhentikan bila melanggar sumpah atau janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna DPR setelah dilakukan pemeriksaan oleh MKD.
Artinya, Novanto bisa diperiksa oleh MKD dan hasil pemeriksaannya bisa menjadi pertimbangan dalam rapat paripurna untuk kemudian dicopot dan diganti oleh Ketua DPR baru yang bebas dari tuduhan korupsi.
Menyandera DPR
Desakan dari pihak lain untuk melengserkan Novanto sejatinya telah muncul, salah satunya dari Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto.
Ia mengakui posisi Ketua DPR merupakan milik Golkar. Namun demikian, menurut dia, Golkar tak bisa menyandera marwah DPR dengan mempertahankan Novanto sebagai Ketua DPR hingga putusan praperadilan keluar.
Ia mengatakan sudah banyak fraksi yang sejatinya menginginkan Ketua DPR baru sebab saat ini Novanto dinilai mencoreng marwah DPR jika masih memimpin lembaga perwakilan rakyat itu.
Ia pun menilai Golkar tak kekurangan kader yang layak untuk menggantikan Novanto di kursi Ketua DPR.
(Baca juga : PAN Anggap Golkar Menghina DPR)
Yandri pun menyarankan Novanto mundur saja dari posisi Ketua DPR. Dengan begitu, Novanto juga bisa fokus pada kasus yang menjeratnya.
"Dan citra DPR bisa menjadi lebih baik kalau dia mundur. DPR tidak tersandera dengan kasus Novanto," kata Anggota Komisi II DPR ini.
Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Lukman Edy mengatakan, penahanan Ketua DPR Setya Novanto oleh KPK dikhawatirkan berdampak negatif pada kinerja DPR.
Karena itu, Lukman Edy pun mendorong Partai Golkar menjawab kekhawatiran tersebut, terutama atas permintaan dicopotnya Setya Novanto dari jabatan Ketua DPR.
(Baca juga : Politisi PKB Harap Masalah Golkar Terkait Novanto Tak Menyandera DPR)
Menurut Lukman, ada dua mekanisme yang bisa dijalankan. Pertama, mekanisme internal Partai Golkar menanggapi masalah ketua umumnya itu.
"Kita dorong internal Golkar lakukan mekanisme menjawab semua kondisi terakhir. Apakah pleno, munaslub. Apa pun bentuknya mereka yang tahu," kata Lukman ditemui di sela-sela diskusi Perludem, Jakarta, Selasa (21/11/2017).
Lukman mengatakan, PKB mendorong Partai Golkar melakukan mekanisme internal tersebut, terutama untuk perbaikan partai berlambang beringin itu. Jangan sampai, kondisi ini berdampak negatif terhadap DPR.
"Melakukan perbaikan-perbaikan. Kondisi internal Golkar jangan sampai menyandera lembaga legislatif seperti DPR," kata Lukman.
Adapun mekanisme kedua yaitu internal DPR. Setelah hasil keputusan internal Partai Golkar disampaikan ke DPR, selanjutnya DPR harus melakukan mekanisme internal pergantian pimpinannya.
"Kami, PKB, mendorong dua mekanisme ini berjalan dengan baik," ucap Lukman.