JAKARTA, KOMPAS.com — Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti melihat taktik yang dilakukan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, merupakan taktik standar yang dilakukan para advokat untuk mengulur waktu. Salah satunya adalah menolak menandatangani berita acara penahanan.
Namun, karena kasus Novanto menjadi sorotan publik, Bivitri merasa prihatin karena pernyataan-pernyataan Fredrich menimbulkan kebingungan di publik.
"Keprihatinan saya sebagai orang hukum, publik seperti diombang-ambing oleh tim advokat Setya Novanto," kata Bivitri dalam sebuah acara diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/11/2017).
Misalnya, soal Novanto yang tak memenuhi undangan pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi karena menilai pemanggilan terhadapnya membutuhkan izin Presiden.
Menurut Bivitri, ada publik yang sempat berkomentar agar KPK mengalah saja dan meminta persetujuan Presiden untuk memanggil Novanto.
Baca juga: Karangan Bunga untuk Setya Novanto Dirusak Orang Tak Dikenal
Padahal, kata Bivitri, secara aturan hukum hal tersebut sudah jelas bahwa KPK tak perlu mengantongi izin Puntuk memanggil Novanto.
"Persoalan kemarin tidak mau dipanggil karena tidak ada tanda tangan Presiden. Itu clear, jangan tanya saya, mahasiswa hukum saja itu clear sekali tidak perlu," kata dia.
Secara konseptual, anggota DPR memang memiliki hak imunitas dalam rangka menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai anggota Dewan. Misalnya, mengkritisi kebijakan menteri atau pejabat negara lainnya.
Namun, hal itu berbeda jika seorang anggota Dewan melakukan tindak pidana.
Baca juga: Kecelakaan yang Membuat Setya Novanto Batal Menghuni Hotel Prodeo
Kemudian, ada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 disebutkan bahwa izin Presiden tak berlaku jika seorang anggota DPR melakukan tindak pidana khusus seperti korupsi.
"Yang khusus itu yang diatur di luar KUHP. Seperti korupsi, terorisme. Itu sangat jelas," tuturnya.
Dalam hal ini, Bivitri meminta KPK betul-betul tegas melaksanakan kewenangannya. Kasus ini menjadi momentum untuk memberi pesan penting bagi masyarakat Indonesia bahwa tak ada "the intouchable" atau orang-orang yang tak bisa disentuh.
"KPK harus tegas. KPK mempunyai kewenangan yang jelas untuk melakukan segala upaya yang dimungkinkan mulai dari penahanan, penuntutan, sampai putusan akhirnya," kata Bivitri.
Baca juga: Cara Polisi Kuak Kebenaran Kasus Kecelakaan Setya Novanto...
KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka pada Jumat (10/11/2017).
Novanto sebelumnya lolos dari status tersangka setelah memenangi gugatan praperadilan terhadap KPK.
Dalam kasus ini, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Baca juga: Golkar Gelar Rapat Pleno Pekan Depan, Khusus Bahas Setya Novanto
Adapun sejumlah pihak itu antara lain Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, dan dua mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut, negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Saat ini, Novanto sudah berstatus tahanan KPK meski Novanto masih dirawat di rumah sakit karena mengalami kecelakaan pada Kamis (16/11/2017) malam.