Sempat juga terdengar agar penyelenggaraan penerbangan perintis (yang terbengkalai) diserahkan kepada TNI Angkatan Udara dengan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagai landasannya. Ide yang solutif mengingat TNI memiliki fasilitas di pelosok Nusantara.
Namun, terlepas dari polemik konsep OMSP, perlu diingat bahwa keadaan sudah sangat jauh berbeda dari era-DAUM (Dinas Angkutan Udara Militer) setengah abad silam. Hubungan sipil-militer telah banyak berubah, termasuk terkait fungsi transportasi.
Iklim persaingan usaha dewasa ini cenderung lebih menghendaki agar militer tidak ikut serta menjadi aktor utama dengan mendirikan badan usaha penerbangan.
Kompetisi sehat identik dengan kehadiran perusahaan, baik swasta atau daerah, yang dikelola secara profesional. Sisi positifnya adalah meniadakan risiko gugatan perdata terhadap TNI AU.
Mereka masih dapat terlibat dengan menyediakan penerbang dan teknisi untuk Merpati. Guna menghindari polemik berkepanjangan akan profesionalisme militer, maka konsep OMSP dibatasi hanya berupa pengiriman sumber daya manusia guna mendukung penerbangan perintis tanpa harus membentuk suatu badan usaha penerbangan.
Mengingat pentingnya penyelenggaraan penerbangan perintis yang sehat, serta untuk mendukung keberhasilan Program Poros Maritim Dunia, maka Merpati layak dan seyogianya diselamatkan.
Memang mahal, tetapi kesejahteraan rakyat taruhannya. Bukan tidak mungkin harga sembako di Indonesia timur akan sama atau minimal tidak jauh berbeda dari Pulau Jawa. Jembatan udara yang kokoh dan efisien, dipadukan dengan tol laut, akan mampu mewujudkannya.
Untuk itu, Merpati harus dikelola secara profesional, dalam arti tidak ada campur tangan politik dalam menentukan jenis armada maupun strategi bisnisnya.
Model bisnis Susi Air sudah sepantasnya ditiru, yaitu dengan tidak merambah ke rute domestik yang menggunakan pesawat jet sekelas Airbus 320 atau Boeing 737.
Strategi code-shared dengan maskapai nasional yang melayani penerbangan antaribukota provinsi dapat menjadi opsi guna menjamin keterisian penumpang serta menjauhkan Merpati dari godaan untuk mengoperasikannya sendiri. Anggaran Dasar Merpati dapat diubah guna menjamin mereka hanya akan menerbangi rute perintis.
Kehadiran serta keberhasilan terbang perdana N-219 pada 16 Agustus silam sepertinya berada pada momentum yang tepat.
Seandainya upaya penyelamatan Merpati terwujud, N-219 layak menjadi pilihan utama bagi armadanya.
Harga pesawat ini diperkirakan akan jauh lebih murah ketimbang saingan utamanya, DHC-6 Twin Otter buatan Kanada (sekitar 6,5 juta dollar AS).
Jika Merpati beserta maskapai penerbangan nasional lain benar-benar beralih ke N-219, niscaya langit Nusantara akan diterbangi karya bangsanya sendiri; berdikari kalau meminjam istilah Bung Karno.
Jam terbang adalah salah satu hal terpenting yang dibutuhkan N-219 agar pesawat ini dapat kian sempurna dan menjadi pemain utama pada kelasnya di pasar global.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.