JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting mendesak Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI mengambil sikap terkait Ketua DPR Setya Novanto.
Setya Novanto, yang berstatus tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP, berkali-kali mangkir dari panggilan penyidik KPK.
"Mangkir hingga berkali-kali hingga menghilang saat dijemput paksa oleh KPK harus disikapi sebagai pengabaian kewajiban hukum seorang anggota DPR," ujar Miko melalui keterangan tertulis, Jumat (17/11/2017).
"Sebaiknya, DPR sesegera mungkin memfungsikan MKD untuk mengambil sikap terhadap Setya Novanto. Tujuannya, menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga wakil rakyat," lanjut dia.
Baca: Polisi Selidiki Hubungan Setya Novanto dengan Pemilik Fortuner dan Wartawan Metro TV
Penyidik KPK telah memanggil Novanto sebanyak tiga kali. Tak satu pun panggilan itu dipenuhinya.
Pada Rabu (15/11/2017) malam, penyidik KPK mendatangi kediaman Novanto untuk melakukan penjemputan paksa Novanto. Namun, Ketua Umum Partai Golkar itu tidak berada di rumah.
Dari aturan tersebut, MKD seharusnya sudah bisa mengambil langkah terhadap Novanto.
"Dengan pertimbangan ini, MKD perlu mengadakan sidang untuk memutuskan sikap mereka atas perilaku yang ditunjukkan oleh Setya Novanto," ujar Miko.
Tentunya, proses persidangan di MKD tidak mengesampingkan penyidikan, penuntutan serta proses pengadilan Novanto nantinya.
Baca: Pengacara: Pelipis Novanto Benjol Segede Bakpao
Diberitakan, Novanto mengalami kecelakaan, Kamis (16/11/2017) malam. Ia kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Permata Hijau, Jakarta Selatan.
"Perlu MRI, luka di bagian sini (pelipis), benjol besar segede bakpao," ujar kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi.
Kecelakaan itu sekaligus mengungkap keberadaan Novanto yang menghilang dari rumahnya saat peyidik KPK berencana menjemputnya secara paksa.