JAKARTA, KOMPAS.com - Pihak kuasa hukum Ketua DPR RI Setya Novanto mengirimkan surat perihal ketidakhadiran kliennya pada pemanggilan pemeriksaan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (15/11/2017).
Pada hari ini, Novanto dijadwalkan menjalani pemeriksaan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, surat itu diterima KPK pada pukul 10.00 WIB.
Baca: Surat Novanto, dari Buatan Istri, Setjen DPR, hingga Pengacara
Pada surat tertanggal 14 November 2017 itu, terdapat tujuh poin yang menjadi dasar ketidakhadiran Novanto ke KPK.
Poin-poin itu, di antaranya, pihak Novanto yang menyatakan telah menerima surat panggilan tersangka dari KPK pada 10 November 2017.
Pihak Novanto mencantumkan sejumlah pasal sebagai dasar ketidakhadiran Novanto. Misalnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Hukum".
Baca juga: Jatuh Bangun Wartawan Mengejar Setya Novanto...
Kemudian, Pasal 20 A huruf (3) UUD 1945. Pasal ini berbunyi, "Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas".
Pasal berikutnya yakni Pasal 80 UU No 17 Tahun 2014 yang terkait dengan hak imunitas anggota DPR.
Selanjutnya, Pasal 7 dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan dan Perundang-Undangan. Pasal ini menyangkut jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Pihak Novanto juga mencantumkan Pasal 224 ayat (5) dan Pasal 245 ayat (1) dalam UU Nomor 17 Tahun 2014.
Baca juga: Tolak Diperiksa, Ini Isi Surat Setya Novanto kepada KPK
Pasal 224 ayat 5 berbunyi, "Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan".
Kemudian, Pasal 245 ayat 1 berbunyi, "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan".