Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan Ini Bisa Jadi Dasar KPK Panggil Paksa Setya Novanto

Kompas.com - 14/11/2017, 15:07 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa memanggil paksa Ketua DPR RI Setya Novanto.

Novanto tiga kali tidak memenuhi pemanggilan sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan tersangka Dirut PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudihardjo.

"Kalau kita bicara mengenai penggunaan kekuatan, tentu KPK bisa melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah menahan yang bersangkutan," ujar Refly, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/11/2017).

Pakar Tata Hukum Negara Refly Harun di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/11/2017).KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Pakar Tata Hukum Negara Refly Harun di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/11/2017).
Ia memastikan, tak ada aturan yang dilanggar jika KPK pada akhirnya memutuskan untuk memanggil paksa, bahkan menahan Novanto.

Sejumlah alasan bisa menjadi landasan KPK.

Baca: Dipanggil KPK, Istri Setya Novanto Juga Beralasan Sakit

Refly menyebutkan, KPK bisa melakukan panggilan paksa jika menilai sikap Novanto merintangi penyidikan, tidak kooperatif, dan berkehendak menghilangkan barang bukti.

"Dan KPK sudah melakukan itu terhadap tersangka- tersangka korupsi lainnya," kata Refly.

Adapun, Novanto juga menggugat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasal yang digugat berkaitan dengan hak imunitas anggota dewan dan pencekalan.

Baca juga: Tolak Diperiksa, Ini Isi Surat Setya Novanto kepada KPK

Menurut Refly, panggilan paksa tetap bisa dilamukan meski gugatan tersebut belum diputus oleh MK.

Sebab, prosedur MK menjelaskan bahwa undang-undang yang diuji tetap berlaku hingga ada putusan yang menyatakan undang-undang itu batal.

"Jadi undang-undang itu memberikan hak secara clear kepada KPK untuk bisa memanggil seorang tersangka bahkan menahan tersangka, sebelum undang-undang itu dibatalkan eksistensinya maka itu tetap bisa digunakan," ujar Refly.

Hal ini, kata dia, berbeda dengan gugatan uji materi terkait hak angket. Refly mengatakan, dalam gugatan tersebut ada area abu-abu yang perlu penafsiran MK.

"Tapi dalam kasus ini tidak ada keraguan. KPK punya kewenangan untuk melakukan penyidikan kepada siapapun di negeri ini dalam kasus korupsi tidak peduli apa jabatannya sekalipun Presiden RI," ujar Refly.

Baca juga: Pengacara Novanto Dinilai Bisa Kena Pasal "Obstruction of Justice"

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menegaskan, pihaknya bisa memanggil paksa Setya Novanto.  

"Kalau panggilan ketiga tidak hadir, KPK berdasarkan hukum kan bisa memanggil dengan paksa," kata Laode di Gedung KPK, Jakarta, Senin (13/11/2017). 

Laode mengatakan, KPK akan memanggil paksa Setya Novanto apabila terpaksa. Namun, ia berharap Novanto bisa kooperatif dan menghadiri panggilan pemeriksaan.

Pengacara Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto, Fredrich Yunadi, mengatakan bahwa pihaknya akan meminta perlindungan Presiden Joko Widodo jika KPK memanggil paksa kliennya.

Menurut Fredrich, pemeriksaan kliennya selaku anggota DPR oleh penegak hukum harus seizin Presiden.

Kompas TV Bagaimana suara Partai Golkar menyikapi ketua umum dan jabatannya sebagai ketua DPR saat ini perlukah mendesak mundur?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com