JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Pemilu (KPU) tidak berencana menggunakan sistem teknologi pemilihan umum dengan sistem elektronik atau e-voting.
Komisioner KPU Divisi Perencanaan Keuangan dan Logistik Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan, KPU masih enggan mengadopsi sistem e-voting.
"Karena memang problemnya masih terlalu banyak," ujar Pramono, dalam cara diskusi publik Model Pembiayaan Pulkada yang Efisien dan Efektif di Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Selain persoalan IT, KPU juga memperhitungkan anggaran jika menerapkan sistem e-voting. Hal itu menjadi persolan besar karena biaya Pemilu atau Pilkada belum efisien.
Baca: Mendagri: E-Voting Memungkinkan untuk Dilakukan
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Pilkada 2015 menghabiskan anggaran Rp 7,89 triliun untuk 269 daerah, atau Rp 29,3 miliar per daerah.
Sementara itu, pada Pilkada 2017, anggarannya mencapai Rp 5,94 triliun untuk 101 daerah. Artinya, jika dirata-rata, maka anggaran per daerah mencapai Rp 58,91 miliar.
"Di negara negara maju, negara-negara Eropa, beberapa negara yang sebelumnya gunakan e-voting sudah kembeli ke manual," kata Pramono.
E-rekapitulasi
Meski mengesampingkan e-voting, KPU sudah memiliki rencana untuk melakukan efisiensi anggaran Pemilu atau Pilkada.
Salah satunya, dengan pemanfaatan sistem rekapitulasi secara elektronik.
Caranya, KPU akan menyediakan lembar formulir C1 dengan format khusus tang bisa terbaca datanya saat di lakukan pemindaian dengan alat khusus.
Sistem ini sudah diujicoba di beberapa daerah di Tengerang dan Jakarta saat Pilkada lalu.
Baca juga: Indonesia Dinilai Belum Siap Gunakan E-Voting
Namun, penggunaan sistem e-rekapitalisasi baru akan diterapkan secara nasional pasca Pemilu 2019.
"Intinya kira-kira pemungutan suara tetap manual, tetapi C1-nya ada format khusus," ujar Pram.
KPU percaya bahwa penggunaan sistem e-rekapitulasi akan memangkas waktu rekapitulasi manual yang biasanya memakan waktu hingga sebulan.
Lamanya waktu rekapitulasi itu membuat anggaran honorarium melonjak.
Dari penelitan Kemendagri, komponen honorarium menjadi penyumbang terbesar biaya Pemilu atau Pilkada.