Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohamad Burhanudin
Pemerhati Kebijakan Lingkungan

Penulis lepas; Environmental Specialist Yayasan KEHATI

Catalonia, Musim Separatisme, dan Politik Kita

Kompas.com - 02/11/2017, 08:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

TAK hanya Spanyol, separatisme Catalonia kini juga membangkitkan hantu baru bagi Eropa. Pemimpin-pemimpin demokratik Eropa umumnya bisa memahami tuntutan referendum di Catalonia, namun tidak untuk pemisahan. Sebuah sikap yang ambigu.

Pernyataan Presiden Perancis Emmanual Macron di Sorbone dua pekan lalu barangkali sedikit menjelaskan mengapa ambiguitas Eropa atas apa yang terjadi di Catalonia itu mengemuka.

Dia mengatakan, separatisme Catalonia merupakan dampak buruk dari tumpukan masalah di Eropa dalam beberapa tahun terakhir, yang dapat membuat tumpukan masalah itu menjadi kian buruk.

Sejak krisis keuangan menerpa negara-negara Eropa tahun 2008, kawasan ini seolah dirundung berbagai masalah bertubi-tubi. Mulai dari rontoknya perbankan, asuransi, resesi ekonomi, melonjaknya pengangguran, arus pengungsi, problem sosio-demografis terkait migrasi, hingga terorisme.

Era kestabilan yang mereka nikmati begitu dalam sejak pertengahan 1990-an hingga dekade pertama abad ke-21 sedikit demi sedikit tergerus.

Dampak lanjutannya, gerakan anti self-establishment mulai mengemuka, respons-respons nasionalisme (bahkan) ultranasionalisme mengedepan, intoleransi tumbuh. Fenomena Brexit dapat dipandang sebagai bagian dari rangkaian persoalan ini.

Namun, ternyata perkembangan di Eropa berlangsung begitu cepat dalam satu rangkaian. Krisis ekonomi di satu sisi, gerakan nasionalisme dan ultranasionalisme di pihak lain ternyata beranak ancaman baru: separatisme, hantu lama para negara-bangsa di sebagian besar belahan dunia, tak terkecuali daratan Eropa, baik barat maupun timur.

Dan, gema baru di Catalonia itu ternyata membangkitkan sentimen yang sama dengan subnasional-subnasional terluka lain di Eropa. Basque mulai menggeliat. Dan, Eropa mulai gundah akan hadirnya faktor instabilitas baru.

Musim yang timbul tenggelam

Negara-bangsa di era modern, khususnya usai Perang Dunia Kedua, umumnya lahir dari penguasaan politik yang penuh darah serta kesepakatan-kesepakatan sepihak. Ketidakstabilan ekonomi dan bangkitnya (baca: politisasi) nasionalisme kerap diikuti bangkitnya separatisme dari mereka yang tertindas.

Ketika Perang Dunia Kedua usai, puluhan hingga ratusan negara-bangsa baru muncul. Sebagai entitas baru, ketidakstabilan ekonomi dan politik umumnya menyertai.

Pada saat yang sama, semangat membangun nasionalisme baru sebagai negara-bangsa anyar selepas dari kolonialisme memaksa banyak negara itu menggunakan tangan besinya untuk menyatukan wilayah-wilayah yang terserak. Wilayah-wilayah yang umumnya secara akar budaya, etnik, dan sejarah kebangsaan, berbeda. Di sinilah titik mula separatisme berawal.

Sementara itu, politik perang dingin menciptakan dua blok yang berpuluh-puluh tahun terus bertarung, Barat dan Timur. Menyebarkan pengaruhnya ke berbagai belahan dunia.

Situasi yang membuat dua kekuatan utama dunia tersebut cenderung akomodatif terhadap penindasan terhadap subnasional di negara-negara otoritarian. Mereka akan mendukung serepresif atau seotoriter apapun penguasa selama rezim tersebut menjadi barisan pendukung mereka.

Maka tidak heran, selama perang dingin, gerakan separatisme di banyak negara menemui tembok represi yang begitu kejam. Hal itu pula yang dialami para separatis di Spanyol, Kurdi, Filipina Selatan, Thailand Selatan, separatis di Myanmar, India, dan tentunya Aceh dan Papua di Indonesia.

Pimpinan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka Wilayah Pebatasan Keerom Papua, Lambert Peukikir (bercelana merah), Sabtu (25/7/2009), memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora di pinggir Sungai Muru Kampung Wembi Keerom. TPN OPM mengancam akan terus melakukan aksi jika Pemerintah Indonesia tidak menyerahkan kembali Papua ke PBB untuk dilakukan referendum. Mereka mau menurunkan bendera setelah dimediasi  tokoh agama setempat Pastor John Djonga.KOMPAS/ICHWAN SUSANTO Pimpinan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka Wilayah Pebatasan Keerom Papua, Lambert Peukikir (bercelana merah), Sabtu (25/7/2009), memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora di pinggir Sungai Muru Kampung Wembi Keerom. TPN OPM mengancam akan terus melakukan aksi jika Pemerintah Indonesia tidak menyerahkan kembali Papua ke PBB untuk dilakukan referendum. Mereka mau menurunkan bendera setelah dimediasi tokoh agama setempat Pastor John Djonga.
Ketika perang dingin usai, gerakan separatisme seakan menemukan arenanya. Banyak negara-bangsa pecah berhamburan. Gerakan pemisahan terjadi di mana-mana. Gelombang demokratisasi ketiga meniupkan angin segar berupa bangkitnya lembaga-lembaga demokratis di banyak negara, sekaligus perpecahan banyak suku bangsa.

Usainya perang dingin membangkitkan nasionalisme baru. Namun, sekaligus merangsang munculnya nasionalisme lain dari kelompok yang secara historis berbeda dan tak lagi terikat oleh kekuasaan rezim penindas. Apa yang terjadi di Soviet, Yugoslavia, dan di pengujung 1990-an Indonesia adalah bagian dari tren global ini.

Ketidakstabilan ekonomi di era transisi dan politik nasional yang rentan membuat subnasional-subnasional terluka bangkit melawan untuk memisahkan diri.

Hasil sitaan Polres Jayapura pada aksi pengerebekan Rapat Koordinasi Pengesahan Tentara Pembebasan Negara Papua Barat pada Minggu (10/8/2014) di Kampung sekitar pukul 21.15 WIT, di Kampung Warombaim, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua. Sebanyak 21 orang yang diduga simpatisan kelompok Organisasi Papua Merdeka yang diamankan aparat keamanan. Barang bukti yang berhasil diamankan adalah bendera bintang kejora, dan pelontar anti tank. Hasil sitaan ini ditampilkan dalam konferensi pers di Mapolres Jayapura, Papua pada Senin (11/8/2014). KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA Hasil sitaan Polres Jayapura pada aksi pengerebekan Rapat Koordinasi Pengesahan Tentara Pembebasan Negara Papua Barat pada Minggu (10/8/2014) di Kampung sekitar pukul 21.15 WIT, di Kampung Warombaim, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua. Sebanyak 21 orang yang diduga simpatisan kelompok Organisasi Papua Merdeka yang diamankan aparat keamanan. Barang bukti yang berhasil diamankan adalah bendera bintang kejora, dan pelontar anti tank. Hasil sitaan ini ditampilkan dalam konferensi pers di Mapolres Jayapura, Papua pada Senin (11/8/2014).
Namun, tren global itu meredup begitu dunia memasuki dekade milenium. Mengemukanya isu-isu baru, seperti terorisme, perubahan iklim, dan mengedepannya teknologi komunikasi serta informasi, membuat isu separatisme tenggelam. Musim separatisme berganti.

Dukungan internasional terhadap gerakan semacam itu juga mulai meredup. Kita tentu masih ingat ketika memasuki pertengahan dekade 2000-an, sebagian publik internasional mulai berpandangan bahwa gerakan separatisme Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah terorisme, meski jelas-jelas GAM sendiri merupakan gerakan sekuler.

Setelah krisis keuangan tahun 2008, arah politik dan ekonomi internasional sedikit demi sedikit berubah. Resesi global, membengkaknya pengungsi dan arus migrasi, dan terorisme, membangkitkan gerakan nasionalisme, bahkan, ultranasionalisme (seperti yang telah disinggung sebelumnya) di banyak belahan dunia. Kontestasi anti-antian mengemuka.

Menguatnya kelompok kanan nasionalis, bahkan ultranasionalis, menurunkan keyakinan akan kerja sama global ataupun regional. Namun, nasionalisme yang cenderung menyeragamkan identitas hingga seolah-olah tunggal juga menyimpan durinya sendiri, yaitu tersakitinya identitas lain yang tak sama meski di satu negara.

Di sinilah, mengapa separatisme kerap menyeruak justru ketika nasionalisme penunggalan diteriakkan atau dimanfaatkan dalam politik kekuasaan. Situasi menjadi kian rawan saat negara tak memiliki performa ekonomi dan kestabilan politik yang meyakinkan, khususnya saat krisis ekonomi menyapa.

Jelas orang Madrid tak pernah merasakan denyut yang sama dengan orang Catalonia ketika mereka menengok sejarah ke belakang. Terutama, dengan apa yang terjadi 40-an tahun silam saat rezim Franco berkuasa.

Represi yang hebat dan diskriminasi sebagai warga kelas dua adalah pengalaman sejarah warga Catalonia yang tak tertangkap dalam bingkai nasionalisme Spanyol masa kini, seindah apa pun itu dibahasakan.

Maka, ketika seiring krisis ekonomi tahun 2010 otoritas di Madrid memberikan otonomi khusus kepada Catalonia, dan pada saat yang sama kelompok nasionalis Spanyol menguat di negeri itu, imaji dan luka lama orang-orang Catalonia itu seakan dibangkitkan.

Kespanyolan mereka sebagian besar berupa memori-memori yang penuh luka. Mereka pun mulai berimajinasi tentang membentuk bangsa baru, seperti dulu, sebelum luka itu hadir.

Pada logika yang serupa, sebagian besar orang Aceh atau Papua atau subnasional yang terluka lainnya di negeri ini tentu tak memiliki degup yang sama dengan orang di Jawa ketika kalimat "NKRI harga mati" kembali ramai diteriakkan belakangan ini. Ada sejarah luka yang berbeda yang dialami masing-masing ketika "menjadi Indonesia" selama puluhan tahun ini.

Dalam kacamata subnasional yang jauh di luar Jawa, dari apa yang mereka lihat di televisi, media sosial, dan surat kabar, politik Indonesia saat ini sesungguhnya tak lebih ajang kontestasi egosentrisme kutub-kutub kekuatan Jawa.

Orang-orang membicarakan Jokowi, Ahok, Prabowo, Anies, intoleransi, toleransi, Pancasila, islamisme, maupun NKRI harga mati dalam konteks pertarungan politik kekuasaan yang secara fisik dan psikologis jauh dari kepentingan orang-orang di daerah-daerah subnasional ini.

Maka, jika kontestasi politik ala Jawa, khususnya Jakarta, ini tak segera menemukan titik keseimbangannya, sementara ketimpangan kesejahteraan dan krisis daya beli ini tak segera menemukan jawabannya, tak tertutup kemungkinan Catalonia baru aku muncul di negeri ini, bahkan sekencang apa pun nasionalisme diteriakkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

Nasional
Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Nasional
Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Nasional
Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Nasional
Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Nasional
MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Nasional
Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Nasional
PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

Nasional
Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Nasional
Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Nasional
Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Nasional
Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com