Namun, tren global itu meredup begitu dunia memasuki dekade milenium. Mengemukanya isu-isu baru, seperti terorisme, perubahan iklim, dan mengedepannya teknologi komunikasi serta informasi, membuat isu separatisme tenggelam. Musim separatisme berganti.
Dukungan internasional terhadap gerakan semacam itu juga mulai meredup. Kita tentu masih ingat ketika memasuki pertengahan dekade 2000-an, sebagian publik internasional mulai berpandangan bahwa gerakan separatisme Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah terorisme, meski jelas-jelas GAM sendiri merupakan gerakan sekuler.
Setelah krisis keuangan tahun 2008, arah politik dan ekonomi internasional sedikit demi sedikit berubah. Resesi global, membengkaknya pengungsi dan arus migrasi, dan terorisme, membangkitkan gerakan nasionalisme, bahkan, ultranasionalisme (seperti yang telah disinggung sebelumnya) di banyak belahan dunia. Kontestasi anti-antian mengemuka.
Menguatnya kelompok kanan nasionalis, bahkan ultranasionalis, menurunkan keyakinan akan kerja sama global ataupun regional. Namun, nasionalisme yang cenderung menyeragamkan identitas hingga seolah-olah tunggal juga menyimpan durinya sendiri, yaitu tersakitinya identitas lain yang tak sama meski di satu negara.
Di sinilah, mengapa separatisme kerap menyeruak justru ketika nasionalisme penunggalan diteriakkan atau dimanfaatkan dalam politik kekuasaan. Situasi menjadi kian rawan saat negara tak memiliki performa ekonomi dan kestabilan politik yang meyakinkan, khususnya saat krisis ekonomi menyapa.
Jelas orang Madrid tak pernah merasakan denyut yang sama dengan orang Catalonia ketika mereka menengok sejarah ke belakang. Terutama, dengan apa yang terjadi 40-an tahun silam saat rezim Franco berkuasa.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.