JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang mendengarkan pledoi dari terdakwa kasus suap proyek di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Musa Zainuddin, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (1/11/2017), terpaksa ditunda.
Pasalnya, Musa melalui kuasa hukumnya Haryo B Wibowo menyampaikan belum selesai menyusun nota pembelaan atau pledoinya.
"Kami belum siap yang mulia. Kami mohon waktu untuk mengoptimalkan," kata Haryo, di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu siang.
Hakim ketua memberi waktu satu minggu lagi, tepatnya tanggal 8 Oktober 2017 mendatang bagi pihak Musa untuk menyusun pledoi. Jika tidak selesai lagi, maka sidang akan dilanjutkan dengan putusan.
(Baca: Politisi PKB Musa Zainuddin Dituntut 12 Tahun Penjara)
"Sidang kita lanjutkan Rabu 8 November 2017, pembelaan dari terdakwa," ujar Hakim.
Usai sidang, pengacara Musa, Haryo beralasan, waktu satu minggu yang diberikan sebelumnya untuk menyusun pledoi tidak cukup. Pasalnya, banyak kejanggalan pada tuntutan jaksa yang mesti dicermati pihaknya.
"Oleh karenanya kami dalam pledoi itu mengulas secara seksama dan detail sekali dan juga ini memakan waktu yang tidak sedikit juga," ujar Haryo.
Diketahui, Musa yang merupakan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu dituntut 12 tahun penjara dalam kasus suap tersebut. Ia juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 7 miliar oleh jaksa KPK.
Menurut Haryo, terdapat kekeliruan dalam tuntutan jaksa terhadap kliennya. Dia merujuk pada pasal yang disangkakan pada Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir, yang juga terdakwa pada kasus ini.
(Baca: Pengacara Musa Zainuddin Anggap Dakwaan Jaksa KPK Membingungkan)
Abdul didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"12 tahun itu adalah salah satu hal yang menyalahi aturan. Karena Abdul Khoir itu dituntut dan diputus pasal 5 ayat 1. Pada Pasal 5 ayat 2, sebagai penyelenggara atau pegawai negeri yang menerima, orang yang dituduh melakukan tindak pidana pasal 5 ayat 1 maka hukumannya harus sama dengan yang pasal pasal 5 ayat 1. Yaitu maksimal 1 sampai 5 tahun," ujar Haryo.
Lamanya pihak Musa menyusun pledoi juga lantaran mereka menuding jaksa KPK memasukan keterangan saksi yang tidak sesuai pada tuntutan.
"Ya ada misalnya ada manipulatif keterangan saksi yang dimasukan dalam tuntutan misalnya. Orang saksinya enggak pernah ngomong gitu kok. Dibilang ngomong gitu. Nah itu gimana," ujar Haryo.
(Baca: Musa Zainuddin Disebut Terima Suap Rp 7 Miliar Lewat Staf Pribadinya)
"Terus jaksa mendengar saksinya siapa ini. Saksinya enggak ngomong gitu kok terus dikutip ngomongnya gitu. Ini kan sangat membahayakan juga, artinya bolehlah menuntut tapi jangan dengan cara-cara menghalalkan segala cara terus kemudian juga melanggar aturan itu," ujar Haryo.
Musa Zainuddin sebelumnya dinilai oleh jaksa terbukti menerima suap Rp 7 miliar terkait proyek di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Menurut jaksa, uang sebesar Rp 7 miliar itu diberikan agar Musa selaku anggota Komisi V DPR mengusulkan program tambahan belanja prioritas dalam proyek pembangunan jalan di wilayah Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara.
Selain itu, agar PT Windhu Tunggal Utama dan PT Cahaya Mas Perkasa dapat ditunjuk sebagai pelaksana proyek-proyek tersebut.
Suap proyek pembangunan jalan
Dalam kasus ini, Musa dikenalkan oleh Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary, kepada Direktur PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir dan Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa, So Kok Seng alias Aseng.
Penyerahan uang kepada Musa melalui stafnya, Jailani. Uang dalam pecahan dollar Singapura dan rupiah tersebut dibungkus dalam dua tas ransel hitam.
Menurut jaksa, penerimaan uang itu sebagai kompensasi karena Musa telah mengusulkan proyek pembangunan Jalan Taniwel-Saleman senilai Rp 56 miliar, dan rekonstruksi Piru-Waisala Provinsi Maluku senilai Rp 52 miliar.
Musa dinilai melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.