JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang telah disahkan DPR menjadi UU, Rabu (25/2017), dinilai merupakan langkah maju untuk perbaikan tata kelola migrasi di Indonesia berbasis pemenuhan HAM.
Migrant CARE menilai, UU ini paralel dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi Pekerja Migran.
Meski demikian, masih ada beberapa kelemahan yang menjadi catatan terhadap UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Pertama, Pasal 13 huruf g tentang perjanjian penempatan yang menjadi salah satu persyaratan penempatan pekerja migran.
"Ketentuan ini menegaskan bahwa penempatan pekerja migran hanya melalui perusahaan swasta. Padahal dalam undang-undang ini juga diatur tentang penempatan melalui badan dan mandiri," kata Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant CARE Anis Hidayah melalui keterangan tertulis, Rabu (25/10/2017).
Baca: Migrant Care Apresiasi UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Kedua, Pasal 44 Ayat 3 yang menyebutkan bahwa kepala badan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri.
Menurut Anis, pasal ini berpotensi menimbulkan konflik kewenangan antara kementerian dan badan.
Anis mengatakan, jika ingin UU ini diimplementasikan sebagai instrumen perlindungan, maka harus disosialisasikan kepada seluruh elemen masyarakat.
Selain itu, harus dikawal 27 peraturan turunan mandat UU ini, selain melakukan penguatan kepada pemerintah daerah.
"Terakhir, mendesak Kementerian Keuangan untuk penganggaran LTSA melalui Dana Alokasi Khusus, serta monitoring-evaluasi implementasi," kata Anis.
Baca: Sengkarut Perlindungan Pekerja Migran
UU yang terdiri atas 13 bab dan 87 pasal ini dinilai maju karena menggunakan konvensi perlindungan pekerja migran sebagai konsideran utama.
UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia juga mengamanatkan 27 peraturan turunan, terdiri dari 12 Peraturan Pemerintah (PP), 11 peraturan setingkat menteri (Permen), tiga peraturan badan dan satu Peraturan Presiden (Perpres).