JAKARTA, KOMPAS.com - Migrant CARE mengapresiasi kemajuan aturan dalam Rancangan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang telah disahkan DPR menjadi UU pada hari ini, Rabu (25/10/2017).
Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant CARE Anis Hidayah mengatakan, kemajuan dalam UU ini, misalnya, pengurangan peran swasta secara signifikan dan dikembalikannya peran pemerintah daerah.
"Di antaranya yaitu informasi, rekrutmen, pengurusan dokumen, pendidikan, dan pelatihan (dikembalikan ke pemerintah). Sementara, peran swasta hanya menempatkan pekerja migran yang sudah siap melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA)," kata Anis melalui keterangan tertulis, Rabu (25/10/2017).
Selain itu, menurut Anis, ada kemajuan dalam hal jaminan terhadap hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, termasuk hak untuk berserikat dan berkomunikasi.
Baca: Sengkarut Perlindungan Pekerja Migran
Menurut Anis, ada pula penguatan peran pemerintah daerah, mulai dari provinsi hingga desa.
"Kemudian ada pemberian peran bagi keterlibatan masyarakat sipil, perlindungan sosial di bawah BPJS. Dan paling penting ketentuan pidana memiliki efek jera, termasuk bagi pejabat dan korporasi lebih diperberat," ujar Anis.
Poin-poin kemajuan
Anis memaparkan, sejumlah pasal yang dinilai menunjukkan kemajuan tersebut sebagai berikut:
Pertama, pengakuan dan penghargaan untuk peran masyarakat sipil pada bagian menimbang huruf (f) dan Pasal 65 Ayat (2).
Kedua, jaminan sosial Pekerja Migran Indonesia diintegrasikan ke BPJS Ketenagakerjaan yang diatur dalam Pasal 29.
Ketiga, Pasal 6 mengatur 13 hak dasar pekerja migran, termasuk hak berserikat dan akses komunikasi.
Keempat, Pasal 14 Ayat (2) huruf g yang memasukkan jaminan kamanan dan keselamatan pekerja migran dalam klausul perjanjian kerja.
Kelima, Pasal 34 tentang perlindungan sosial dan Pasal 35 tentang ekonomi.
Keenam, Pasal 39 yang memandatkan pemerintah provinsi untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta menyediakan pos LTSA.