JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari berpendapat, ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak sesuai dengan UUD 1945 atau inkonstitusional.
Hal tersebut diungkapkannya saat menjadi ahli dalam sidang uji materi UU Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (24/10/2017).
"Angka presidential threshold tersebut adalah angka politik sesaat dan inkonstitusional," ujar Feri.
Pasal 222 UU Pemilu menyatakan, pasangan calon pada Pemilu 2019 diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya.
Feri menjelaskan, dalam hal teknis pencalonan presiden dan wakil presiden, UUD 1945 telah mengatur secara jelas soal teknis pengusulan calon presiden dan wakil presiden.
Baca: "Presidential Threshold" Dinilai Hanya Untungkan Jokowi Saat Pemilu
Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.
Ketentuan itu, lanjut Feri, sangat terang menyebutkan bahwa pencalonan hanya dapat melalui parpol atau gabungan parpol.
Namun, dalam Pasal 222 UU Pemilu menggabungkan ketentuan mengenai pencalonan digabungkan dengan ketentuan persyaratan menjadi presiden.
Hal itu terlihat dari frasa '...yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya.'
Feri menilai, penggabungan kedua hal itu terjadi karena pembuat UU mengacu Pasal 6A UUD 1945 yang menyebut syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dalam UU.
Menurut Feri, UU tidak dapat mengatur hal teknis yang sudah diatur dalam UUD 1945 dengan cara menambahkan atau meniadakan ketentuan di konstitusi.
"UU tidak dapat mengatur hal teknis yang sudah diatur dalam UUD 1945 dengan cara menambahkan atau meniadakan ketentuan dalam pasal di UUD 1945. Ketentuan pencalonan harus dibedakan dengan syarat-syarat menjadi presiden," kata Feri.
"Praktiknya, dalam UU Pemilu pembentuk UU telah mengatur tata cara pencalonan yang berseberangan dengan ketentuan UUD 1945," lanjut dia.
Sebelumnya pemohon uji materi Pasal 222 UU Pemilu, Effendi Gazali, mempersoalkan adanya ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.
Menurut Effendi, ketentuan tersebut merupakan tindakan memanipulasi hak pilih warga negara.