Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Miryam S Haryani Dituntut 8 Tahun Penjara

Kompas.com - 23/10/2017, 21:40 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota DPR, Miryam S Haryani dituntut 8 tahun penjara oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Politisi Partai Hanura itu juga dituntut membayar denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.

"Kami menuntut agar majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan," ujar jaksa Kresno Anto Wibowo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/10/2017).

Menurut jaksa, perbuatan Miryam tidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi. Perbuatannya menghambat proses penegakan hukum dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP.

Selain itu, jaksa menilai Miryam tidak menghormati lembaga peradilan dan menodai kemuliaan sumpah. 

Baca: Saat Miryam Merasa Pemeriksaan KPK Tak Seseram yang Dikatakan Anggota DPR...

Jaksa juga menilai, Miryam sebagai anggota DPR tidak memberikan contoh kepada masyarakat untuk bersikap jujur.

Menurut jaksa, Miryam dengan sengaja mencabut semua keterangan yang pernah ia berikan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

 Salah satunya, terkait penerimaan uang dari mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Sugiharto.

Dalam persidangan, anggota Fraksi Partai Hanura itu, mengatakan, sebenarnya tidak pernah ada pembagian uang ke sejumlah anggota DPR RI periode 2009-2014, sebagaimana yang dia beberkan sebelumnya kepada penyidik.

Miryam beralasan, saat memberikan keterangan dalam BAP, ia ditekan dan diancam oleh tiga penyidik KPK. Namun, hal itu tidak terbukti.

Ahli pidana dan psikologi forensik yang dihadirkan jaksa menilai tidak ada tekanan selama pemeriksaan Miryam oleh penyidik KPK.

Baca juga: Menurut Ahli, Miryam Penuh Kesadaran Selama Diperiksa Penyidik KPK

Hal itu juga terlihat dalam video pemeriksaan yang diputar dalam persidangan.

Dalam persidangan, jaksa pernah menghadirkan dua penyidik KPK, yakni  Ambarita Damanik dan MI Susanto. Ketiga penyidik membantah adanya tekanan atau paksaan kepada Miryam dalam memberikan keterangan.

Bahkan, menurut penyidik, dalam empat kali pemeriksaan, Miryam selalu diberikan kesempatan untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi keterangannya pada akhir pemeriksaan.

Hal itu terbukti dengan paraf dan tanda tangan Miryam yang dibubuhkan pada setiap berkas BAP.

"Keterangan terdakwa yang menyebut ada tekanan adalah keterangan yang tidak benar. Maka pencabutan keterangan tidak punya alasan yang sah," kata Jaksa KPK.

Miryam dinilai terbukti melanggar Pasal 22 jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Kompas TV Sidang kasus pemberian keterangan tidak benar dengan terdakwa Miryam S Haryani kembali dilanjutkan di pengadilan tipikor.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Menhan AS Telepon Prabowo Usai Penetapan KPU, Sampaikan Pesan Biden dan Apresiasi Bantuan Udara di Gaza

Menhan AS Telepon Prabowo Usai Penetapan KPU, Sampaikan Pesan Biden dan Apresiasi Bantuan Udara di Gaza

Nasional
Terima Nasdem, Prabowo: Surya Paloh Termasuk yang Paling Pertama Beri Selamat

Terima Nasdem, Prabowo: Surya Paloh Termasuk yang Paling Pertama Beri Selamat

Nasional
Partai Pendukung Prabowo-Gibran Syukuran Mei 2024, Nasdem dan PKB Diundang

Partai Pendukung Prabowo-Gibran Syukuran Mei 2024, Nasdem dan PKB Diundang

Nasional
MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

Nasional
Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

Nasional
Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Nasional
Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau 'Ge-er'

Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau "Ge-er"

Nasional
Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Nasional
Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com