Sa'duddin menjelaskan, fenomena isu agama dijadikan komoditas politik karena ada dua preferensi politik identitas yang dianut oleh masyarakat.
Mereka cenderung memilih pemimpin berdasarkan kesamaan identitas, yakni kesamaan suku atau agama.
Politik identitas, menurut dia, sah saja dilakukan. Namun, hal itu menjadi berbahaya saat politik identitas, khususnya terkait agama, mengekslusi keyakinan yang lain.
Baca: Sehari Jadi Gubernur DKI, Anies Baswedan Dilaporkan ke Polisi karena Kata Pribumi
Sa'duddin menyayangkan munculnya polemik soal "pribumi" dan "non-pribumi" akibat pidato Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota, usai pelantikan, Senin lalu.
Menurut dia, pernyataan pribumi dan non pribumi itu sudah mengarah pada eksklusivitas dan membahayakan keragaman di tengah masyarakat.
"Memang harus dibendung dengan cara edukasi. Dampak merusak yang direproduksi berulang kali itu berpengaruh ke seluruh lapisan masyarakat. Saya kira itu peringatan untuk kita semua," kata Sa'duddin.
"Para politisi yang menggunakan politik identitas itu biasanya tidak memiliki kinerja atau hasil kerja yang bisa dinilai baik maka jualannya ya isu identitas," ujar dia.
Membangun perspektif perdamaian
Akan tetapi, ujaran kebencian dan politisasi SARA dalam kontestasi politik perlu diredam untuk mencegah terjadinya polarisasi masyarakat.
Menurut Presiden The Asian Muslim Action Network (AMAN Indonesia) Azyumardi Azra, hal itu bisa dilakukan dengan menerapkan konsep peace building atau membangun perspektif perdamaian di kalangan para politisi dan masyarkat.
Baca: Soal Istilah Pribumi, Apa Kata Jokowi?
Penerapan konsep peace building melalui pendekatan agama sangat mungkin dilakukan oleh organisasi kemasyarakat yang moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
"Saya kira ada metode-metodenya dalam rangka membangun peace building melalui pendekatan keagamaan. Jadi peace building through religious approcah itu bisa dilakukan, saya kira di Indonesia sangat penting," ujar Azyumardi saat ditemui di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2017).
"Katakanlah NU, Muhammadiyah dan MUI melakukan workshop atau training mengenai peace building melalui keagamaan. Misalnya,bagaimana kalau berceramah itu lebih menekankan ke dalam perdamaian, daripada misalnya memprovokasi jemaah," ujar dia.
Azyumardi berharap, para politisi tidak menggunakan isu agama sebagai salah satu bahan dalam kampanyenya.
Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi maraknya penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong menjelang tahun politik 2018-2019.
Azyumardi menegaskan, isu agama yang dipolitisasi berpotensi menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
"Sebaiknya para politisi dalam kampanyenya janganlah membawa-bawa agama, nanti bisa dipelintir ke sana sini. Apalagi kalau misalnya kepleset lalu dipelintir. Jadi janganlah, karena isu agama itu bisa eksplosif," kata dia.
"Jadi, saya kira kuncinya para politisi ini agar lebih bijak, jangan membawa-bawa agama, apalagi kalau dia dari agama yang lain. Karena itu mereka harus diketuk hati nuraninya," ujar mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.