JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polri menuai kritik dari kalangan akademisi.
Meski Polri meyakini pembentukan Densus Tipikor akan memperkuat penanganan perkara korupsi oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipikor), rencana tersebut tetap dipertanyakan.
Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) Adery Ardhan menilai, ada sejumlah kejanggalan dalam rencana pembentukan Densus Tipikor yang harus segera dijawab oleh Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Pol Tito Karnavian.
Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, Kamis (12/10/2017) Tito menyampaikan pembentukan Densus Tipikor membutuhkan anggaran sebesar Rp 2,6 triliun.
Baca: Mencontoh KPK, Kapolri Ingin Penyidik dan Jaksa Satu Atap di Densus Tipikor
Tito merinci total anggaran tersebut untuk belanja pegawai 3.560 personel sekitar Rp 786 miliar, belanja barang sekitar Rp 359 miliar, dan belanja modal Rp 1,55 triliun.
Menurut Adery, jika Kapolri ingin menunjukkan komitmennya dalam memberantas korupsi, seharusnya pengajuan anggaran digunakan untuk memperkuat Dittipikor yang sudah ada.
"Mengapa anggaran sebesar 2,6 triliun bukannya diberikan kepada Dittipikor, namun malah membentuk organisasi baru yakni Densus Tipikor," kata Adery dalam sebuah diskusi terkait pembentukan Densus Tipikor Polri di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (15/10/2017).
"Kapolri seharusnya menjelaskan mengapa Dittipikor saat ini tidak berjalan secara efektif, sehingga diperlukan detasemen khusus untuk tindak pidana korupsi," ujar dia.
Dari anggaran sebesar Rp 2,6 triliun, lanjut Adery, Kapolri perlu mengungkap apa saja keperluan Densus Tipikor dan berapa jumlah perkara yang ditargetkan.
Baca: Lagi, Jaksa Agung Minta Penuntutan Kasus Korupsi Dikembalikan ke Kejagung
Selain itu, Kapolri juga harus menyebutkan besaran biaya yang diperlukan oleh Densus Tipikor untuk menyelesaikan satu perkara.
"Anggaplah anggaran itu sudah tepat, maka Komisi III harus kritis dan detail. Buka dulu anggaran arahnya ke mana sebagai bentuk transparansi. Kapolri harus menjelaskan hal tersebut secara jelas. Hal ini penting agar publik dapat mengetahui secara transparan mengenai pengalokasian anggaran sebesar Rp 2,6 trilliun," ujarAdery.
Hal senada diungkapkan oleh peneliti MaPPI FHUI, Dio Ashar.
Menurut Dio, Komisi III DPR seharusnya mengkritisi secara rinci terkait besarnya anggaran dan memastikan apakah anggaran tersebut telah sesuai dengan kebutuhan penegakan hukum.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.