JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi VIII DPR akan memperketat regulasi bagi penyelenggara umroh dalam revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh.
Hal itu dilakukan untuk menghindari terulangnya kasus penyelewengan dana umroh seperti yang dilakukan First Travel.
"Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 akan kita revisi dan oleh karena itu kita tunggu saja revisinya ke depan. Tadi ada juga usulan dari para jemaah agar revisinya itu menyangkut pada perlindungan jemaah, jangan sampai seperti sekarang ini," kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR Noor Achmad di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/10/2017).
(baca: YLKI: First Travel Bukan Satu-satunya Biro Umrah Bermasalah)
Ia menambahkan, revisi undang-undang tersebut nantinya juga akan mengatur skema pembiayaan agar tak lagi merugikan jemaah
Dengan ketiadaan aturan skema pembiayaan, maka penyelenggara umroh bebas mengiming-imingi masyarakat dengan harga yang tak masuk akal.
Nantinya, revisi tersebut juga akan melibatkan pendapat dari jemaah umroh sehingga mewakili kepentingan masyarakat.
"Sehingga jangan sampai ada jor-joran harga ada yang termurah dan termahal dan kemudian dia justru menipu jemaah," lanjut politisi Golkar itu.
(baca: Polisi Sita 8 Perusahaan Lain Milik Bos First Travel, Apa Saja?)
Menurut polisi, jumlah korban yang belum diberangkatkan agen perjalanan First Travel sebanyak 58.682 orang.
Mereka adalah calon jemaah yang sudah membayar paket promo Rp 14,3 juta per orang dalam periode Desember 2016 hingga Mei 2017.
Kalau dihitung kerugiannya, untuk yang paket saja mencapai Rp 839.152.600.000. Selain itu, sejumlah calon jemaah ada yang masih diminta membayar carter pesawat sebesar Rp 2,5 juta sehingga jumlah penambahan itu sebesar Rp 9.547.500.000.
Jika ditotal menjadi Rp 848.700.100.000. Jumlah tersebut belum termasuk utang-utang yang belum dibayar First Travel ke sejumlah pihak.
First Travel belum membayar provider tiket penerbangan sebesar Rp 85 miliar. Kedua tersangka juga belum membayar tiga hotel di Mekkah dan Madinah dengan total Rp 24 miliar. Kemudian, utang pada provider visa untuk menyiapkan visa jemaah sebesar Rp 9,7 miliar.