Di antaranya ada dua syarat berat: pertama, punya kepengurusan paling sedikit di 75 persen provinsi, 50 persen kabupaten di provinsi bersangkutan, dan 25 persen kecamatan di kabupaten/kota bersangkutan; dan kedua, punya kantor tetap di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Sebelum menetapkan badan hukum, persyaratan ini harus diverifikasi Kemenkumham.
Baca juga: Mengenali Pemilu Agar Tak Sebal Melulu
Sementara itu, UU No 7/20187 mengatur, selain berbadan hukum, partai politik peserta pemilu harus memenuhi tiga syarat paling berat ini: pertama, punya kepengurusan di semua provinsi, 75 persen kabupaten/kota di provinsi bersangkutan, dan 50 persen kecamatan di kabupaten/kota bersangkutan; kedua, punya kantor tetap di pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan; dan ketiga, punya anggota 1.000 atau 1/1.000 jumlah penduduk kabupaten/kota. Persyaratan ini harus diverifikasi oleh KPU.
Jadi, kelengkapan kepengurusan dan kepemilikan kantor sama-sama jadi syarat badan hukum dan peserta pemilu. Bedanya, kompisisi badan hukum adalah 75 persen, 50 persen, dan 25 persen; sedang komposisi peserta pemilu 100 persen, 75 persen, dan 50 persen.
Selain itu, badan hukum tidak ada syarat keanggotaan, sedangkan peserta pemilu menyertakan syarat keanggotaan.
Jika kelengkapan kepengurusan dan kepemilikan kantor sama-sama menjadi syarat badan hukum dan peserta pemilu, mengapa perlu dua lembaga (Kemenkumham dan KPU) untuk memverifikasinya?
Bukankah akan lebih efisien, jika Kemenkumham cukup mengesahkan akte pendirian sebagaimana terjadi pada badan usaha dan yayasan, sedangkan KPU yang memverifikasi syarat kelengkapan kepengurusan dan kepemilikan kantor?
Verifikasi syarat kelengkapan kepengurusan dan kepemilikan kantor oleh KPU, tak hanya menghemat dana negara, tetapi juga bisa menghindari “politisasi” sengketa kepengurusan, mengingat Menkumham biasanya dijabat orang partai politik.
Baca juga: Pemilih Indonesia Secerdas Pemilih Amerika Serikat
Sengketa kepengurusan di Partai Golkar dan PPP pasca Pemilu 2014 adalah contohnya. Sementara itu, KPU yang diisi orang-orang nonpartisan lebih terjaga independensi dan netralitasnya.
Ketentuan bahwa partai politik harus memiliki anggota 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah penduduk kebuapten/kota, juga menimbulkan masalah besar.
Masalah utama itu adalah, KPU tidak mungkin melakukan verifikasi faktual terhadap 1.000 atau 1/1.000 anggota partai politik di setiap kabupaten mengingat keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya. KPU terpaksa menggunakan metode sampling, padahal UU No 7/2017 jelas-jelas menghendaki sensus.
Komplikasi masalah atas syarat-syarat partai politik berbadan hukum dan peserta pemilu disebabkan oleh ambivalensi pembuat undang-undang (yang notabene adalah partai politik parlemen).
Di satu pihak, sesuai tuntutan konstitusi, mereka ingin membebaskan warganegara untuk berserikat dan berpartisipasi dalam pemerintahan; di lain pihak, sesuai naluri pertahanan diri, mereka berusaha mencegah sedini mungkin hadirnya pesaing baru.
Simak dan nantikan Kolom Pemilu oleh Didik Supriyanto di Kompas.com.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.