PADA 3 Oktober 2017, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah menetapkan 7 (tujuh) anggota Komnas HAM RI terpilih periode 2017-2022.
Penetapan itu dilakukan setelah melalui serangkaian fit and proper test yang dimulai dari penyusunan makalah sampai proses wawancara terhadap 14 (empat belas) calon. Merujuk latar belakang calon terpilih, secara umum adalah pegiat HAM melalui berbagai lembaga swadaya masyarakat, akademisi, advokat, dan petahana.
Ketujuh orang yang lolos seleksi menjadi anggota Komnas HAM tersebut adalah Mohammad Choirul Anam, Beka Ulung Hapsara, Ahmad Taufan Damanik, Munafrizal Manan, Sandrayati Moniaga, Hairansyah, dan Amiruddin Al Rahab.
Salah satu hal yang paling menonjol dan mendapat perhatian Komisi III DPR RI adalah dorongan bagi calon terpilih untuk menuntaskan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
Meskipun disadari bahwa penuntasan pelanggaran HAM yang berat, terutama membawa pelaku untuk disidangkan di Pengadilan HAM sekaligus pemulihan hak-hak korban, bukan tanggung jawab mereka semata, akan tetapi juga memerlukan niat politik pemerintah.
Namun demikian, independensi, sikap tegas, dan kemampuan berkoordinasi sekaligus “berkonfrontasi” dari perspektif hukum dan HAM dengan Kejaksaan Agung RI dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, menjadi keharusan yang tidak bisa dihindari.
Baca juga: Komisi III DPR Sahkan Tujuh Komisioner Baru Komnas HAM
Sebagai catatan, masih terdapat 8 (delapan) kasus pelanggaran HAM yang berat yang penuntasannya belum menunjukan hasil yang menggembirakan.
Di antaranya: Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Triksakti, Semanggi I dan Semanggi II, dan Peristiwa Wasior, dan Peristiwa Wamena.
Sedangkan saat ini proses penyelidikan yang masih berjalan adalah Kekerasan Paniai 2014, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998–1999 dan beberapa lainnya yang terjadi di Aceh.
Untuk menghadapi tantangan tersebut maka diperlukan kemampuan dari para calon terpilih yang setidak-tidaknya:
Pertama, sebagai implementasi dari Prisip-prinsip Paris 1993 kepada Institusi Nasional Hak Asasi Manusia (NHRI), maka diperlukan sikap idependensi dari anggota yang terpilih. Tindakan tersebut harus imparsial dan objektif, tidak hanya mengikuti keinginan penguasa yang direpresentasikan pemerintah, akan tetapi benar-benar mempedomani instrumen HAM dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.
Perlu disadari pula pada 2019 akan menjadi tahun politik berupa pemilihan Presiden – Wakil Presiden RI yang menjadikan penyelesaian pelanggaran HAM menjadi komoditas, untuk itu perlu benar-benar menjaga independensinya.
Kedua, memiliki kemampuan analisis hukum dan HAM yang mumpuni, mengingat bahwa dalam proses penyelidikan dan penuntasan pelanggaran HAM yang berat memiliki kekhususan, baik dari aspek materiil maupun formil yang berbeda dengan hukum pidana.
Tingkat kompleksitas pembuktian juga memperlukan penanganan yang serius, terlebih lagi untuk membuktikan adanya unsur sistematis dan meluas sebagai prasyarat untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran HAM yang berat.
Ketiga, keahlian dalam komunikasi dan menjaga marwah kelembagaan, hal ini menjadi salah satu prasyarat karena dalam proses penuntasan pelanggaran HAM yang berat secara umum selalu bersinggungan dengan kekuasaan,
Aparat Penegak Hukum dan pihak-pihak yang memiliki otoritas yang kuat. Apabila hal-hal tersebut tidak dimiliki, maka akan menjadi hambatan dalam pelaksanaan mandat, terutama aspek penyelidikan.
Penyelesaian Pelanggaran HAM