JAKARTA, KOMPAS.com – Hari ulang tahun ke-72 Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi momentum untuk mengingatkan kembali posisi institusi militer tersebut di tengah masyarakat.
Tema yang diangkat saat upacara peringatan di Dermaga PT Indah Kiat, Cilegon, Banten, Kamis (5/10/2017), "Bersama Rakyat, TNI Kuat" menjadi simbol bahwa TNI bersumber dari rakyat, berbuat dan bertindak bersama rakyat.
Hal itu ditegaskan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat menghadiri geladi bersih upacara HUT ke-72 TNI, Selasa (3/10/2017) lalu. Kebersamaan dengan rakyat, kata Gatot menjadi modal utama TNI dalam mengawal dan mengamankan kepentingan nasional menuju cita-cita bangsa.
Sejarah telah membuktikan bahwa TNI tidak pernah berjuang sendirian dalam perang merebut kemerdekaan. Oleh karena itu, Gatot menegaskan bahwa TNI akan selalu berpihak pada rakyat dan bersikap netral dalam politik praktis.
"TNI tidak pernah berjuang sendiri selalu bersama dengan rakyat. Maka sentral kekuatan TNI adalah bersama rakyat. Tanpa rakyat TNI tidak ada apa-apanya," ujar Gatot.
(Baca juga: Rayakan HUT ke-72, TNI Gelar Upacara, Parade Pasukan dan Alutsista)
Manuver Panglima TNI
Namun, pernyataan Gatot dinilai kontradiktif dengan kenyataan. Belakangan, banyak pernyataan Panglima TNI yang dianggap sebagai manuver yang kontroversial, bahkan berdampak politis.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri mengatakan, tidak dipungkiri beberapa waktu belakangan ini terkesan ada manuver politik yang dilakukan Panglima TNI.
Kontras memaparkan sejumlah pernyataan dan aksi kontroversial Gatot Nurmantyo. Misalnya, menjelang HUT ke-71 TNI, Gatot mengusulkan untuk dipulihkannya kembali hak berpolitik aparat TNI.
Gatot juga hadir bersama dengan ribuan pendemo 212 pada akhir tahun 2016. Adapun aksi itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pernyataan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, yang dianggap melakukan penodaan agama.
Menurut Puri, Panglima TNI semestinya tidak perlu hadir di tengah aksi massa. Sebab, sudah ada Kapolri yang merupakan penanggung jawab keamanan jika berlangsung aksi massa.
"Pembelaannya adalah ia hadir di tengah kerumunan massa untuk menjaga kesatuan NKRI dan kepresidenen Joko Widodo," ucap Puri, saat ditemui di kantor Kontras, Jakarta, Rabu (4/10/2017).
(Baca juga: Kontras: Apapun Bentuknya, Panglima TNI Tidak Bisa Bicara Politik)
Kemudian, pada Februari 2017 Gatot sempat bersitegang dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Gatot mengeluh bahwa dirinya tidak mampu mengelola anggaran matra laut, darat dan udara karena adanya Peraturan Menteri Nomor 28/2015.
Dengan adanya peraturan tersebut, kewenangan anggaran pertahanan berada di bawah Menhan.
Pada Mei 2017, Gatot juga mengungkapkan perbedaan pendapat dengan Polri soal adanya tuduhan makar dalam berbagai gelombang demonstrasi kelompok agama yang menguat pada akhir tahun 2016.
Penolakan makar disampaikan Gatot sebagai upaya untuk mengajak warga tidak takut dengan situasi politik terkini.
Masih di bulan yang sama, pada Mei 2017, Gatot juga hadir di tengah Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar. Dia juga membacakan puisi "Tapi Bukan Kami", yang dianggap kritikan terhadap pemerintah.
Terakhir, Gatot mengeluarkan instruksi untuk melakukan nonton bareng film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang tidak hanya untuk jajaran internalnya, melainkan juga ajakan kepada warga sipil di sekitar markas TNI.
(Baca: 8 Kontroversi Panglima Gatot yang Dinilai Politis Versi Kontras)