SAYA adalah salah satu dari sekian generasi 1980-an yang menonton film Pemberontakan G30S/PKI. Saya ingat waktu itu nonton pertama kali – dan yang terakhir kalinya – ketika saya kelas 3 SD.
Saya menonton bukan karena disuruh atau dipaksa guru di sekolah tapi murni karena penasaran. Saya bela-belain tidak tidur demi menonton film yang durasinya lebih dari tiga jam itu. Hasilnya: saya kapok.
Saya tidak bisa tidur tiga hari tiga malam karena adegan-adegan berdarah-darah yang kerap muncul di sana terus berulang-ulang di kepala saya. Adegan anak jenderal yang mandi darah lalu penyiletan Jendral-Jendral yang masih hidup begitu membekas di kepala saya dan berhasil mencuci otak kepala saya.
Setelah menonton film itu, saya yakin PKI itu jahat dan Soeharto adalah dewa penolong rakyat Indonesia.
Delapan tahun kemudian keyakinan itu rontok. Saya adalah sekian dari generasi milenial – generasi yang lahir di antara tahun 1980-an awal dan akhir 1990-an akhir – yang tercerahkan.
Kebebasan mendapatkan informasi yang didapat setelah runtuhnya rezim Orde Baru dan juga akses internet memperkarya pemahaman saya tentang peristiwa 1965.
Dari banyak baca dan menonton, saya tahu bahwa film yang selama ini menjadi satu-satunya petunjuk atas misteri 1965 hanya memberikan fakta yang sepotong-sepotong.
Baca juga: Ketua MPR: Nonton Film G30SPKI atau Tidak, Jaga Persatuan Kita
Film yang mengangkat cerita pembunuhan 6 jenderal dan seorang perwira oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak menyebutkan bahwa setelah kejadian itu, setidaknya ratusan ribu jiwa melayang dan banyak lainnya diasingkan, ditahan tanpa pengadilan, dan menderita perlakuan diskriminasi bertahun-tahun karena dianggap terlibat dengan PKI.
Potongan-potongan informasi saya dapat dari film-film dokumenter (mulai dari Mass Grave karya Lexy Rambadetta sampai Jagal dan Senyap karya sutradara Joshua Oppenheimer) lalu banyak bacaan banyak yang fiksi maupun non-fiksi.
Tidak hanya itu, dari media massa, saya tahu bahwa belum ada pelaku yang ditangkap dan dihukum terkait pembunuhan, penyiksaan, dan perbuatan sewenang-wenang terhadap pihak-pihak yang dituduh PKI. Saat ini proses rehabilitasi dan rekonsiliasi yang sedang diperjuangkan oleh para aktivis sedang macet karena kurangnya kekuatan politik dari pemerintah.
Perlahan-lahan, semua yang ada dalam film G30S/PKI tidak lagi relevan untuk cukup menjelaskan peristiwa 1965 bagi generasi milenial di tengah derasnya arus informasi.
Oleh karena itu, ketika Panglima TNI Gatot Nurmantyo memerintahkan penyelenggaraan nonton bareng film G30S/PKI bagi generasi muda untuk belajar sejarah tentang bahaya komunisme, saya terheran-heran. Apalagi setelah film ini sudah dilarang oleh pemerintah untuk ditayangkan di publik di tahun 1998 karena dianggap mengultuskan Soeharto dan rezim Orde Baru.
Jika memang maksudnya ingin membangkitkan narasi tunggal yang dulu pernah jaya, apa Panglima TNI segitu enggak gaulnya sampai dia tidak tahu bahwa narasi sejarah yang dia maksud itu sudah ketinggalan zaman di kalangan anak milenial?
Karena menurut saya, sebelum disuruh nonton film ini, generasi milenial sudah mendapatkan banyak informasi dari berbagai sumber tentang peristiwa 1965.
Banyak dari kami mungkin bahkan belum nonton film tersebut, tapi sudah beberapa kali melihat Jagal atau Senyap dan lewat pengalaman menonton yang kaya ini mudah bagi generasi muda untuk mencium kebohongan di narasi tunggal di film tersebut. Apakah ini tidak menjadi senjata makan tuan buat Sang Panglima?