Diperkuat putusan MK
Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan secara tidak langsung memperkuat penetapan tersangka yang dilakukan KPK saat memulai penyidikan.
Dalam putusan uji materi nomor 21/PUU-XII/2014, MK menafsirkan bahwa frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP adalah minimal dua alat bukti.
MK bahkan mengadopsi bunyi Pasal 44 ayat 2 UU KPK, mengenai bukti permulaan untuk penetapan tersangka yang sekurang-kurangnya adalah dua alat bukti.
"Kalau di penyelidikan KPK sudah menemukan minimal 2 alat bukti tersebut, apakah itu bukan berarti sudah memenuhi syarat penyidikan sekaligus penetapan tersangka?" kata Febri.
Dalam sidang putusan praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (30/9/2017), hakim tunggal Cepi Iskandar menilai penetapan tersangka Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah.
Ada sejumlah pertimbangan yang mendasari Hakim Cepi membuat putusan tersebut.
(Baca: Ini Pertimbangan Hakim Cepi Batalkan Status Tersangka Setya Novanto)
Pertama, Cepi menilai penetapan tersangka Novanto oleh KPK sudah dilakukan di awal penyidikan. Menurut Cepi, harusnya penetapan tersangka dilakukan di akhir tahap penyidikan suatu perkara. Hal itu untuk menjaga harkat dan martabat seseorang.
Selain itu, Cepi juga menilai alat bukti yang diajukan berasal dari penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis bersalah melakukan korupsi E-KTP.
Menurut Cepi, alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya.
(Baca juga: ICW Kemukakan 6 Kejanggalan Putusan Hakim Praperadilan Setya Novanto)