Menghamba berhala
Januari 1961, Surat Kabar Pedoman menemui ajalnya di tangan penguasa militer. Koran boleh tercabik-cabik, dan tintanya mengalir ke comberan. Tapi Rosihan Anwar tetap lah kolumnis brilliant sampai akhir hayatnya.
“Betapa pada tahun-tahun ketika jadi pemimpin redaksi Pedoman sebelum dibredel pada awal tahun 1961, saya menulis dengan tajam dan mengkritik orang dengan keras. Saya bikin banyak musuh karena itu, bukan saja musuh politik, melainkan juga musuh pribadi. Saya berpendapat seorang wartawan yang baik tidak mencari popularitas, supaya disenangi oleh semua pihak dan golongan,” tulis Rosihan Anwar dalam otobiografi Menulis Dalam Air.
Saya merasa Rosihan seperti hidup kembali. Seharusnya ia memberi kuliah kepada kita yang masih hidup ini. Apalagi kalau cuma WTS atau Wartawan Tanpa Surat Kabar, terlampau cengeng bila di zaman kebebasan pers dan informasi ini ada yang berteriak, ”Saya tidak punya media lagi, dan tidak bisa berkarya.”
Absurditas makna yang “gagal” saya pahami. Sebab masih ada blog, media sosial maupun platform untuk para blogger seperti Kompasiana.
Kembali ke soal tafsir, hati kian trenyuh saat di waktu lampau, saya melihat tontonan televisi memamerkan polisi bersetegang dengan seorang penyandang kamera. Sudah dapat ditebak, pada esok harinya “sekumpulan” pemilik pena maupun perekam gambar di ruang bercahaya—ramai-ramai protes, dan menggugat arogansi si oknum polisi.
Baca juga: Ada Sejumlah Nama Terkenal dalam Laporan Analisis Terkait Saracen
Oh ternyata hari-hari ini—tontonan seperti itu bukan hanya milik sejumlah pensiunan jenderal, tapi juga pemilik media, dan top eksekutif newsroom.
Saat seorang kolega berkata, ”Pengusaha sangat kaya mau jadi penguasa dan penguasa yang membeli tiket agar dapat kursi kontestasi pun ingin sangat kaya harta dari jabatan maupun kekuasaannya.” Hati saya makin pedih.
Saya tidak heran. Mungkin sah saja. Namun, bisa Anda bayangkan saat penguasa yang kaya-raya, pemilik konglomerasi media, punya partai politik, berada di Singgasana Maharaja. Apakah ia akan jadi Ratu Adil, atau monster baru di era reformasi, entahlah!
Padahal Pak Harto yang kita jatuhkan bersama dari singgasana punya cara lebih halus saat mengobok-obok “banteng raksasa”, “si hijau” maupun cara penguasa demagog memonopoli “beringin kuning“.
Semua kenyinyiran saya sebenarnya tak ada arti. Manakala orang-orang yang merasa dirinya beragama, berbaris-baris memakai lidah-katanya sebagai protes, adu-domba, dan mencerca.
Saya percaya ketauhidan jadi misi penting agar manusia jangan menghamba berhala, apalagi musyrik pada patung yang dibuat nenek moyangnya. Ironisnya, patung berhala sudah berubah wujud menjadi tahta, harta, dan wanita.
Ingatan saya flashback lagi. Dalam beberapa interaksi sebagai jurnalis RCTI paruh 1990-an, saya menyorongkan mik ke mulut Abdurrahman Wahid—saat itu ia petinggi Nahdlatul Ulama. Gus Dur selalu menggunakan kecerdasannya guna menumpas penguasa melalui lidah-kata sebernas akal para cendekia.
Kita kini tak punya “Gus Dur” lagi. Mungkin yang ada hanya “orang-orangan” yang menyaru sebagai Gus Dur. Tujuh tahun lampau saya berinteraksi intensif dengan penceramah agama Othman Umar Shihab, yang dimaki-maki sebagai Syiah. Anehnya, tak sekali pun dari tutur katanya, ia menyerang balik, apalagi mendengar Othman menjelekkan umat yang melancarkan teror umpatan pada dirinya.
Mungkin, banyak dari kita memang menjadi demagog bagi diri sendiri, lantaran produser “Saracen” bukan hanya yang kini diusut Polisi, sebab masih banyak “Saracen” lain. Jangan-jangan orang-orang yang kini berkuasa juga punya “Saracen”, tapi terlindungi oleh pihak yang punya otoritas mengusutnya.
Bila kita bebas menafsir, penguasa juga bebas manafsir sesuatu, tergantung angle atau sudut pandang. Tergantung perspektif melihat sesuatu.
Jauh ke masa kanak-kanak, dan ini wilayah personal, saya belajar alif ba ta kepada Opung atau kakek saya yang disapa keluarga sebagai Buya. Saat orang-orang kampung datang ke rumahnya, ia selalu rajin "menyiram" kegaduhan tokoh kampung dengan cara menebar senyum.
Bila bicara atribut pendidikan, Si Opung belasan tahun di Tanah Suci Mekah, jauh sebelum negara ini punya tanggal sakti bernomor 17 Agustus. Nah, kearifan para bijaksana kadang-kadang melebihi batas kultural, sosial, ekonomi, bahkan “label bernama agama”.
Agama samawi menyebar kebaikan, kemanusiaan, dan cinta kasih-sayang. Ketauhidan! Namun beragam tafsir yang menyesatkan sering jadi “peluru” buat mengacaukan situasi kita berbangsa, dan bernegara.
Dalam hati, saya hanya bisa mengutuki kedunguan diri ini. Tapi saya tak sudi bila jari tangan saya seperti jari asisten rumah tangga di rumah gedongan yang memantik keyboard di smartphone berharga mahal, tapi tanpa paham apa yang ia sebarkan: berita sebenar-benarnya berita, atau kabar dari burung gagak yang “berlindung” di sarung penyamun.
Sebab yang paling jelas, kata-kata beracun yang ia tularkan berwujud “monster”—menebar teror dalam kehidupan kita.
Audio Sang Panglima di media sosial, masih saya simpan, dan hampir selalu punya keinginan memutar balik. Saya mendengar, akhir-akhir ini perang urat syaraf sedang “bertempur” di negeri ini.
Semua terjadi secara terbuka, masif, dan begitu telanjang. Ia menjadi “monster” bagi kehidupan kita yang mendengar, atau menontonnya. Sesuatu yang tak mungkin terjadi saat Pak Harto sangat berkuasa.
Entah ini berkah atau bencana. Yang jelas, saat pagi tadi dalam perjalanan ke tempat bekerja, di mobil saya memutar audio CD Hikayat Cinta Negri Melayu. Syair salah satu lagu menyadarkan diri saya:
Tegaknya Rumah karena Sendi
Roboh Sendi Rumah Binasa
Tegaknya Bangsa karena Budi
Hilanglah Budi Bangsa Binasa
Hidup kalau tidak Berbudi
Duduk tegak berdiri Canggung