JAKARTA, KOMPAS.com - Sistem whistleblowing pada 17 kementerian dan lembaga telah terintegerasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dengan demikian, pelaporan terhadap dugaan kesalahan birokrasi atau tindak pidana korupsi diyakini akan lebih cepat, mudah, dan menjamin kerahasiaan pelapor.
Akan tetapi, Kementerian Pertahanan dan TNI tak masuk sistem itu.
Tenaga ahli pada bidang isu strategis Kantor Staf Presiden (KSP) Bimo Wijayanto mengatakan, program integrasi sistem whistleblowing itu memang belum menyentuh seluruh kementerian dan lembaga karena sejumlah alasan.
"Karena disesuaikan dengan APBN dan signifikansi program yang ada di kementerian/lembaga terhadap program prioritas Presiden, maka hanya 17 kementerian/lembaga itu saja yang dipilih menjadi pilot project ini," ujar Bimo dalam konferensi pers di Gedung LPSK, Jakarta Timur, Rabu (27/9/2017).
Baca: 17 Kementerian/Lembaga Terapkan Sistem Ini, Jangan Takut Laporkan Tindak Pidana Korupsi!
Selain itu, disesuaikan juga dengan besaran alokasi anggaran APBN pada kementerian dan lembaga itu.
Semakin besar alokasi anggaran di kementerian/lembaga tertentu, maka semakin diupayakan masuk dalam integrasi sistem whistleblowing itu.
Sistem integrasi ini juga merupakan awal. Ketujuhbelas kementerian/ lembaga ini menjadi awal untuk melihat bagian yang harus diperbaiki dari integrasi itu.
"Kita kan juga sambil melihat apakah sistem yang kita jalankan ini bisa berjalan baik atau tidak. Harusnya memang 80 kementerian dan lembaga. Kita lihat saja dulu efektivitasnya," ujar Bimo.
Bimo memastikan, ke depan, TNI dan Kementerian Pertahanan juga akan masuk integrasi sistem whistleblowing ini.
Saat ini, sebanyak 17 kementerian/lembaga yang sistem whistleblowingnya terintegrasi, antara lain Kementerian Agama, Kementerian ESDM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Sosial, Kementerian Perhubungan dan Polri.