JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin mengungkapkan, saat ini pola pendanaan jaringan kelompok terorisme domestik yang terafiliasi dengan kelompok Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS semakin berkembang.
Hal ini membuat PPATK kesulitan untuk menelusuri pendanaan terorisme.
"Kami sudah melakukan pemetaan jaringaan pendanaan teroris domestik yang terafiliasi dengan ISIS. Jaringan pendanaan terorisme di Indonesia yang terafiliasi dengan ISIS terus berkembang. Dampaknya sangat menakutkan. Harus kami akui agak sulit untuk menelusuri pendanaan terorisme," ujar Kiagus saat peluncuran buku putih mengenai pemetaan risiko tindak pidana pendanaan terorisme terkait jaringan domestik yang terafiliasi dengan ISIS, di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (27/9/2017).
Baca: BNPT: Sejak 2014, Kasus Pendanaan Terorisme Terkait ISIS Meningkat
Kiagus mengatakan, ada perubahan tren pengumpulan dana untuk membiayai kegiatan teroris.
Pengumpulan dana tidak lagi dilakukan secara ilegal, melainkan melalui donasi dan media sosial.
Pertama, dana terorisme bersumber dari kegiatan yang legal. Kedua, dana itu biasanya dikirimkan dalam jumlah yang kecil, dan ketiga, pergerakan dana terjadi dalam bentuk tunai.
Perubahan pola tersebut, kata Kiagus, membuat PPATK harus bekerja keras untuk bisa mengungkap pendanaan terorisme.
Menurut Kiagus, jumlah transaksi paling besar transaksi yang pernah ditelusuri oleh PPATK dan bermuara di satu rekening hanya mencapai 1.000 dollar AS.
"Sampai saat ini kami tetap melakukan pemantauan atas transaksi keuangan dari dan ke luar negeri tanpa threshold. Jadi tidak ada batas. 100 dollar pun kami pantau," kata dia.
Baca: Eks WNI Simpatisan ISIS: Perempuan Hanya Dianggap Pabrik Anak
Sementara itu, berdasarkan data BNPT, terdapat beberapa kasus pendanaan yang menyangkut terorisme.
Pada 5 Maret 2015 dan 26 Maret 2015, Santoso mengirimkan uang untuk membeli senjata ke Raida A. ALSree di Filipina sebesar Rp 21.150.000.
Uang tersebut merupakan hasil infaq para pendukung Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Kasus lainnya yakni penggunaan dana untuk pembiayaan keberangkatan FTF.
Achmad Supriyanto memfasilitasi keberangkatan rombongan dari Indonesia ke Suriah dan Filipina sebanyak 12 kali.
Dana sebesar Rp 468.376.080 dibayarkan melalui Visa elektronik untuk membeli tiket pesawat.
Sekitar 2011 dan 2012 terungkap kasus pembiayaan pelatihan terorisme.
Suyitno alias Abdul Malik melakukan setor tunai melalui rekening bank atas nama Waluyo sebesar Rp. 2.000.000 ke rekening Hendro di Tamanjeka, Poso.