JAKARTA, KOMPAS.com - Mulanya, nama yang dipilih andalah Bentara Rakyat. Artinya, koran itu memang dimaksudkan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia rakyat. Motonya pun dipilih “Amanat Penderitaan Rakyat”.
Saat Frans Seda bertemu Bung Karno, Si Bung Besar tidak setuju dengan nama “Bentara Rakyat”. Bung Karno berkata, “Aku akan memberi nama yang lebih bagus...”Kompas”! Tahu toh, apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba!”.
Jadilah nama pemberian Bung Karno itu digunakan sebagai nama koran hingga sekarang, Kompas. Membicarakan perkembangan Kompas, tak bisa lepas dari kiprah para pendirinya, Jakob Oetama dan PK Ojong.
Hari ini, tanggal 27 September 2017, usia salah satu pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama tepat di angka 86. Jakob yang lahir tahun 1931 ini memulai karir pertama sebagai guru. Dari seorang guru, dia akhirnya menjadi sosok penting dalam kancah jurnalisme Indonesia.
Visual Interaktif Kompas (VIK) ini merupakan refleksi atas warisan nilai yang dihidupi Jakob, yang menjadi tonggak tidak hanya bagi jurnalisme yang digeluti para wartawan Kompas dan grup Kompas Gramedia tetapi juga warisan yang mewarnai perjalanan jurnalisme Indonesia.
Jakob tidak meninggalkan sebuah warisan nilai dalam sebuah tuturan yang sistematis. Beragam pandangan dan gagasannya tentang jurnalisme dan menjadi wartawan disampaikannya secara lisan dalam sejumlah kesempatan saat berinteraksi dengan wartawan-wartawannya.
Tulisan yang disajikan dalam Visual Interaktif Kompas (VIK) ini mencoba merangkum ucapannya yang disampaikannya secara sporadis sepanjang perjalanannya membesarkan harian Kompas dan Grup Kompas Gramedia
Dalam perjalanan membesarkan Intisari dan Kompas, Jakob Oetama dan PK Ojong berbagi tugas. Jakob mengurusi editorial, sementara Ojong bisnis.
Namun kemudian, situasinya menjadi tidak mudah bagi Jakob. Setelah 15 tahun kebersamaannya dengan Ojong membangun Kompas, Ojong meninggal mendadak dalam tidurnya tahun 1980.
Kepergian Ojong meninggalkan beban berat. Beban itu tiba-tiba terpikul di pundak Jakob. Jika selama ini konsentrasinya adalah mengurusi bidang redaksional, ia kini juga “dipaksa” untuk mengurusi aspek bisnis.
Kenang Jakob dengan rendah hati, “Saya harus tahu bisnis. Dengan rendah hati, saya akui pengetahuan saya soal manajemen bisnis, nol! Tapi saya merasa ada modal, bisa ngemong! Kelebihan saya adalah saya tahu diri tidak tahu bisnis.”
Kerendahan hati bahwa ia tidak tahu bisnis itulah yang kemudian mengembangkan Grup Kompas Gramedia menjadi sebesar sekarang. Kerendahan hati ini pula yang membuatnya tidak merasa jemawa atas apa yang dicapainya. Ia tidak pernah merasa kaya di antara di antara orang miskin, juga tidak merasa miskin di antara orang kaya.
Seperti apa pergulatan Jakob Oetama dalam membesarkan Kompas Gramedia setelah ditinggal pergi PK Ojong? Apa saja nilai-nilai dan visi bisnis ke depan dari seorang pendiri Kompas Gramedia? Warisan jurnalisme seperti apa yang ia hidupi untuk memajukan jurnalisme Indonesia?
Simak kisahnya di Visual Interaktif Kompas (VIK): Jakob Oetema, "The Legacy".
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.