JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Setara Institute Hendardi meminta Presiden Joko Widodo hati-hati dalam menyikapi manuver yang dilakukan oleh Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.
"Presiden Jokowi mesti berhati-hati mengambil sikap atas Panglima TNI," kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/9/2017).
"Karena Panglima TNI sedang mencari momentum untuk memperkuat profil politik bagi dirinya, maka tindakan atas Gatot Nurmantyo haruslah merupakan tindakan normatif dan biasa-biasa saja, sehingga cara-cara politik yang tidak etis yang sedang diperagakannya secara perlahan menjadi layu sebelum berkembang," tambah dia.
(baca: Sebar Isu Pembelian 5.000 Senjata, Panglima TNI Dinilai Sedang Berpolitik)
Hendardi mengatakan, penyampaian informasi intelijen oleh Panglima TNI di ruang publik menyalahi kepatutan.
Pasalnya, tugas intelijen hanya mengumpulkan data dan informasi untuk Presiden.
"Panglima TNI jelas a historis dengan hakikat reformasi TNI baik yang tertuang dalam TAP MPR, Konstitusi RI maupun dalam UU TNI dan UU Pertahanan," kata Hendardi.
(baca: Luruskan Pernyataan Panglima, Wiranto Sebut 500 Pucuk Senjata untuk Pendidikan BIN)
Hendardi menambahkan, pernyataan Panglima TNI menunjukkan teladan buruk bagi prajurit. Prajurit TNI selama ini didisiplinkan untuk membangun relasi yang kuat dan sehat dengan Polri.
Langkah itu dilakukan untuk menghindari konflik polisi dan tentara seperti yang kerap terjadi.
Alih-alih menjadi teladan, Panglima TNI justru membawa prajurit TNI dalam konflik kepentingan serius yang hanya menguntungkan diri Panglima TNI.
(baca: Fadli Zon Minta Panglima TNI Klarifikasi soal Pernyataan 5.000 Senjata Api)
Hendardi melihat, belakangan ini Gatot terus mencari perhatian publik dengan pernyataan-pernyataan permusuhan, destruktif dan di luar kepatutan seorang Panglima TNI.
"Selain isu PKI, pemutaran film G30SPKI, perang pernyataan dengan Menteri Pertahanan, pengukuhan diri sebagai Panglima yang bisa menggerakkan dan memerintahkan apapun pada prajuritnya, adalah akrobat politik Panglima TNI yang sedang mencari momentum politik untuk mempertahankan eksistensinya jelang masa pensiun," kata Hendardi.
Hendardi menilai, cara Gatot Nurmantyo memimpin TNI adalah yang terburuk sepanjang era reformasi.